Bacchanalia di Prambanan – berbagi cerita menonton pentas “Dionysus”

by - October 10, 2018


30 September 2018. Sebagian masyarakat masih berdebat penting-tidaknya menonton film “Pengkhianatan G30S/PKI” karya (alm.) Arifin C. Noer, dan mayoritas masyarakat berduka serta berprihatin atas peristiwa alam gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah yang berujung musibah. Dalam perjalanan menuju Candi Prambanan saya mampir isi perut dulu di warung bakso sebelum bangjo Bogem (yang membuat lelaki sekuat apapun gemetar karena ada klinik khitan disitu). Secara bergantian saya melihat-lihat berbagai opini dan reportase di internet sambil makan bakso tentang dua hal diatas tadi. Tajuk-tajuk tentang PKI hari itu rupanya tak sesanter gempa bumi dan tsunami. Tampaknya, tsunami takhanya menyapu peradaban di Palu dan sekitarnya, namun juga sentimen-sentimen antikomunis yang biasa dirayakan di bulan September.

Arus zaman, seperti tsunami, juga telah menyapu sekian banyak episode dalam peradaban manusia dan beberapa masih dapat kita jumpai terserak dalam serpihan-serpihan narasi dan memori kolektif. Peradaban Hellenistik (Yunani), misalnya, saat ini masih dapat kita rasakan lewat peninggalan-peninggalan infrastruktur dari zaman itu, yang terserak di daratan-daratan sekeliling Laut Aegea, daerah Afrika Utara, dan jalur penaklukan Aleksander Agung yang melintasi Anatolia, Syria, hingga India; tempat terjadinya akulturasi budaya Hellenistik dan India, yang kemudian mewujud ke berbagai karya seni seperti patung – yang dapat kita jumpai sekarang pada realisme (dan erotisme) patung-patung pada candi-candi di Nusantara, termasuk di Candi Prambanan.

Pemilihan Candi Prambanan oleh Suzuki Company of Toga (SCOT) dan Purnati Indonesia sebagai panggung pementasan “Dionysus”, adaptasi dari tragedi “The Bacchae” karya Euripides (408 – 406 SM), saya pikir sangat pas mengingat ekspansi kebudayaan Yunani yang memengaruhi perkembangan seni dan budaya masyarakat Hindu-Buddha Nusantara. Kisah “The Bacchae” yang ditulis pada abad kelima sebelum masehi seperti sedang pentas di rumahnya sendiri, Candi Prambanan yang dibangun di abad kesepuluh Masehi; terpaut lima abad. Panggung Plataran Candi Prambanan yang biasa dipakai untuk pementasan Sendratari Wayang Orang “Ramayana” sungguh serasi untuk membangun atmosfir pementasan. Berlatar belakang kompleks Candi Siwa, dengan Candi Brahma dan Candi Wisnu serta candi-candi perwara yang gagah diterangi sorot lampu, keemasan di hitam langit malam, saya membayangkan tengah berada di sebuah kerajaan kuno, di Thebes, tempat peristiwa dalam “The Bacchae” terjadi.

Kisah ini berawal dari kerisauan Pentheus, raja Thebes, terhadap praktik ritual para pemuja Dionysus, yang juga disebut Bacchus. Pentheus dan Dionysus bisa dibilang masih bersaudara, karena Dionysus adalah anak dari Semele, bibinya. Ibu Pentheus, Agave, juga turut serta dalam ritual Dionysus. Pentheus mempertanyakan kedewaan Dionysus, meski yang bersangkutan adalah putra Zeus, raja para dewa. Ritual Dionysus sendiri juga meresahkan karena hedonisme gila-gilaan yang dilakukan para pemuja Dionysus. Demi keamanan dan ketertiban negara, Pentheus melarang pemujaan terhadap Dionysus dan memberi ancaman hukuman berat bagi siapapun yang mempraktikkannya. Marah atas tindakan Pentheus, Dionysus memanterai perempuan-perempuan Thebes dan membuat mereka larut dalam kegilaan pesta pemujaan Dionysus. Pentheus membalas dengan merendahkan dan memenjarakan. Namun, karena pada dasarnya dewa, belenggu dan penjara tak mempan mengurung Dionysus, yang berhasil lolos.


Dionysus, yang menyamar menjadi orang biasa, mencoba meyakinkan dan membujuk Pentheus untuk menyaksikan sendiri ritual di Gunung Cithaeron, yang hanya boleh dihadiri kaum maenad (perempuan pemuja Dionysus, disebut juga sebagai kaum bacchae). Dalam ritual itu, kata Dionysus yang menyamar pada Pentheus, semua pesertanya melakukan aktivitas seks massal. Apa boleh buat, karena dorongan kelelakiannya, Pentheus setuju untuk mengintai ritual itu dengan menyamar memakai pakaian perempuan.

Di Gunung Cithaeron, Pentheus dapat melihat dari atas pohon para pemuja Dionysus yang tengah larut dalam kemeriahan dan kegilaan pesta. Malang baginya, ia disangka hewan liar oleh salah satu maenad dan segera saja para peserta ritual menjatuhkannya dari pohon. Pentheus mereka jadikan tumbal upacara sparagmos – yaitu pengorbanan hewan yang dibunuh dengan cara dicabik-cabik dengan gigi dan tangan kosong oleh para pemuja, lalu dimakan dagingnya. Pentheus tewas mengenaskan, tentu saja. Kepalanya dipenggal oleh Agave, ibunya sendiri, dan ditancapkan di mata tombak. Saat itu, Agave dan para maenad lainnya berada dalam pengaruh Dionysus dan tidak sadar bahwa mereka baru saja mencincang raja Thebes. Agave baru insyaf bahwa ia telah membunuh anaknya sendiri setelah Cadmus, kakek Pentheus, raja tua Thebes yang telah turun takhta, menyadarkannya dari tenung Dionysus. Cadmus meratap atas nasib Pentheus, namun ia pasrah pada kehendak dewa. Pentheus tak menaruh hormat pada dewa, dan ia telah menerima hukumannya.

Sutradara pementasan “Dionysus”, Tadashi Suzuki, tidak menyimpang dari narasi asli “The Bacchae” karya Euripides. Plot tetap dipertahankan, namun adegan-adegannya dimainkan dengan gaya teater Noh, teater tradisional Jepang yang mengedepankan unsur artistik yang organik, yang tampak antara lain dalam gladi keaktoran berbasis kekuatan fisik dan koreografi yang harmonis. Kostum para aktor pun juga menggunakan kostum tradisional Jepang, demikian pula riasan wajah mereka. Nuansa Jepang begitu kental dalam pemanggungan “Dionysus” ini. Orang tentu akan salah mengira mereka sedang menonton Noh, bukan teater mitologi Yunani, seandainya mereka tidak mendapatkan informasi samasekali mengenai pementasan saat itu. Saya sendiri harus membuka Wikipedia begitu saya dengar ada kata “Pentheus” dalam dialog para aktor. Waktu itu pertunjukan sudah jalan sekitar sepuluh menit. Familiar dengan nama itu namun tidak begitu yakin berasal dari cerita mitologi yang mana, jemari saya segera berselancar di Google dan mengklik tautan dari Wikipedia.

Tak kalah menarik dari nuansa Jepang pada pementasan “Dionysus” adalah masuknya elemen-elemen lokal Indonesia dalam hal penggunaan bahasa. Saya buka-buka laman Instagram Purnati Indonesia (@purnatiindonesia), ada enam bahasa daerah yang digunakan dalam pementasan ini, yang dituturkan oleh para aktor Indonesia. Saya di bangku penonton bisa mengidentifikasi bahasa Jawa krama inggil (halus) yang dituturkan oleh Jamaluddin Latief dan bahasa Jawa aksen Ngapak yang dituturkan oleh Ari “Inyong” Dwianto. Bahasa Jawa dan bahasa daerah lainnya menemani bahasa Jepang yang dituturkan oleh para aktor Jepang dalam pementasan ini. Penonton dipermudah untuk memahami dialog dalam berbagai bahasa itu lewat boks running text di sebelah kiri dan kanan panggung, yang menampilkan subtitle dalam bahasa Inggris – meski tidak semua penonton terbantu karena saya mendengar beberapa pahlawan bahasa di sekeliling saya harus susah-payah menerjemahkan kalimat-kalimat subtitle pada partner nonton mereka (lebih tepatnya pacar atau gebetan, karena bapak-bapak di samping saya yang sepertinya paham bahasa Inggris beriskap bodo amat pada istrinya yang tampak bengong memandangi subtitle. Tidak ada upaya sama sekali dari si bapak untuk menerjemahkan subtitle buat istrinya. Begitulah getirnya hidup berumah tangga, kawan).

Beralih ke metode latihan keaktoran yang tampak dalam pementasan ini, tentunya kita yang pernah latihan fisik akrab dengan ‘latihan Suzuki’. Latihan ini dijamin akan membuat kaki pegal sak modare dan bagi sebagian orang menimbulkan trauma latihan teater yang berujung pada seleksi alam, hehehe… Memang, bagi Tadashi Suzuki, pendiri SCOT dan pemrakarsa metode latihan keaktoran ini, tubuh memiliki peranan penting dalam keaktoran karena tubuh adalah representasi dari kebudayaan. Menurut Suzuki, teater dewasa ini telah semakin berjarak dari pemberdayaan tubuh aktor sebagai pusat energi yang menghidupkan peristiwa teater di panggung. Contoh yang paling jelas adalah penggunaan set, properti, tata cahaya, dan tata bunyi yang begitu mengandalkan kecanggihan teknologi dan, bukannya menyokong, malah meredupkan “animal energy”, sebuah istilah yang tidak hanya bermakna “energi hewani” namun lebih kepada “energi jiwa” (anima (bhs. Latin) = jiwa). Teknologi, jika tidak dimanfaatkan secara proporsional, pada akhirnya akan membuat panggung dan teater kehilangan roh (keaktoran), dan terasa dingin serta artifisial.

Dan memang, panggung pentas “Dionysus” malam itu tampak amat minimalis (hanya ada properti berupa enam kursi untuk tempat duduk para aktor yang memerankan para pemuja laki-laki Dionysus). Teknologi yang terlibat hanya lampu panggung yang berjajar di kiri-kanan panggung, tergantung pada stager serta speaker untuk memperdengarkan musik (yang tampaknya berupa rekaman). Sebelum pentas, pihak pengelola kawasan wisata Candi Prambanan memperdengarkan prosedur keamanan bagi penonton apabila terjadi bencana alam dan petunjuk-petunjuk keadaan darurat lewat speaker. Hal serupa juga saya temukan waktu nonton di Taman Budaya Yogyakarta. Setelah prosedur keselamatan selesai diperdengarkan, saya menanti MC masuk panggung namun itu tidak terjadi. Pentas langsung dimulai tanpa basa-basi sama sekali.


Dengan koreografi yang mulus dan dialog yang mengalir lancar serta jelas dari para aktor, ditambah dengan teknik gerak yang begitu mantap dan meyakinkan (tampak jelas dari postur tubuh dan topangan kaki ciri khas hasil latihan metode Suzuki), serta permainan intonasi dan warna suara dalam dialog menjadikan mitologi Yunani “berbaju” Jepang ini sungguh terasa mistis dan sakral. Tiga candi utama Prambanan yang menjulang bercahaya yang menjadi latar belakang tampak bagaikan monumen-monumen misterius yang menyimpan rahasia-rahasia semesta. Adegan puncak pementasan ini, yaitu tragedi Pentheus yang dibunuh oleh Agave dan para maenad dalam upacara pemujaan Dionysus, dan antiklimaks-nya ketika Cadmus menyadarkan Agave lalu keduanya meratapi nasib Pentheus dan kerajaan Thebes, membuat saya merinding meski di panggung tak ada visualisasi yang berdarah-darah. Agave yang dalam keadaan trance waktu membunuh anaknya sendiri, membentuk pose tubuh yang tampak mengancam dan mengeluarkan warna suara serta memainkan intonasi wicara yang mampu mendirikan bulu roma. Begitu pula ketika ia disadarkan dari kegilaannya, lolongan kesedihannya juga membuat hati saya ikut kemropok.

Pentas diakhiri dengan para pelaku memberi hormat pada penonton dengan tidak santai. Maksud saya, mereka tetap melakukannya dengan koreografi tertata, tak lepas dari karakter, dan secara bertahap. Tiga kali para aktor keluar-masuk panggung memberi hormat sebelum akhirnya Tadashi Suzuki, sang sutradara, didampingi Bapak Rachmat Gobel serta Ibu H. Uli T. I. Silalahi selaku promotor utama masuk panggung dari tribun penonton, memberi hormat dan kembali ke tempat duduk. Tiada MC yang cuap-cuap menutup acara sebagaimana umumnya sebuah pentas teater ditutup (bahkan kadang saya merasa MC-nya yang mengalami katarsis, bukan aktornya, hehehe…).

Festival bagi Dionysus di kebudayaan Yunani dan Romawi kuno disebut Bacchanalia, dan dalam festival ini berbagai kemeriahan dan keriuhan pesta-pora terasa hingga sudut-sudut kota. Di Prambanan, yang terjadi adalah keheningan. Gegap-gempita dan sorak-sorai tak terdengar. Bacchanalia di Prambanan dan kisah tragedi yang diangkatnya seakan menjadi persembahan dan ungkapan dukacita bagi mereka yang tengah dilanda nestapa di Palu, Sigi, Donggala, Lombok, dan sekitarnya.

Agathon H.
Yogyakarta, 8 Oktober 2018   

NB.
Terima kasih kepada Elisabeth Lespirita Veani atas hibah tiketnya. Sebelumnya saya tidak terpikir mau nonton pentas ini, dan kini saya berpikir kalau pentas ini saya lewatkan, bakal ada banyak hal yang saya sesalkan.
       
Pranala Luar:

You May Also Like

0 komentar