Kisah ini mengandung 60% pengalaman dan pengetahuan pribadi, dioplos
dengan 15% cerita pemilik warung di Gereja Ayam Bukit Rhema, 15% cerita satpam
Candi Borobudur, dan 10% khayalan.
Baik dibaca dengan camilan kacang atau kwaci, atau krupuk jika kacang
atau kwaci tak tersedia.
Senja
masih cemerlang di atas langit Borobudur. Yanto melihat jam tangan. Hampir
pukul lima, waktunya turun, pikir Yanto sambil meliukkan tubuhnya dan menguap.
Dikuceknya mata dan dilepasnya topi hitam yang sedari pagi melindungi kepalanya
dari sengat dan sangit matahari. Reflek diciumnya bagian dalam topi. Hmmm…bau
apak yang nikmat. Bau pria sejati pencari nafkah. Yanto tersenyum.
Dibayangkannya mandi segar malam itu di rumah, dan lebih baik lagi kalau
istrinya juga belum mandi. Ah, Welas memang selalu bikin kangen. Tiap pagi aku
berangkat, belum lima meter dari rumah aku sudah kepingin pulang saja. Hehehe… Dasar manten anyar, cemooh Yanto pada
dirinya sendiri.
Ia
menyeringai, membayangkan malam itu ia mandi, dan istrinya bergabung. Tapi tak
mungkin. Rumahnya cukup jauh di Parakan, Temanggung. Kasihan istriku kalau
mandi pun harus menungguku pulang, Yanto geli. Lama-lama istrinya bisa rematik
kalau mandi malam terus. Lagipula, sebelum pulang ke rumah, Yanto selalu
menyempatkan diri mandi dulu di kamar mandi dekat pos satpam. Perjalanan ke
Parakan butuh mata yang awas dan konsentrasi yang tinggi, apalagi kalau
menjelang malam.
Di
hari yang sama, minggu lalu, Yanto mengalami hari kerja yang cukup gila. Turis datang
bagai bendungan jebol, menggenangi candi dari kaki hingga puncak. Yanto
naik-turun bersama sepuluh rekannya mengawasi setiap tingkat candi, membantu
para lansia meniti anak tangga yang cukup curam, dan menghardik turis yang
hendak memanjat stupa dan berpose atraktif demi sebuah unggahan foto bertagar #saveourculture #BorobudurWorldHeritage
#travelercantik. Yanto heran betul
dengan kelakuan turis-turis jenis ini. Ha
mbok difoto candinya saja kenapa, kalau memang menurutmu candinya bagus; tidak
perlu ada kamunya, sampai naik-naik stupa segala, kritik Yanto tanpa suara.
Lima tahun belakangan, turis macam begini makin banyak, bahkan mungkin lebih
banyak daripada lumut candi. Yanto bergidik.
Sekitar
jam 12 siang, nyaris ada yang baku hantam di dekat stupa induk. Antar turis
lokal. Turis lokal yang lain saling berkerumun. Turis asing turut serta, siap mengabadikan
perkelahian itu untuk sebuah unggahan video bertagar #problemsolving #wonderfulindonesia. Akar permasalahannya lagi-lagi
tak jauh dari hobi unggah-mengunggah. Sepasang kekasih hendak berswafoto
diantara dua stupa, dengan latar belakang stupa induk. Kamera sudah terpasang
di tripod, penghitung mundur
dijalankan, lalu ketika kamera mengambil foto, hasilnya tak seperti yang
diharapkan. Orang-orang lalu-lalang di belakang mereka. Tak puas dengan hasil
foto, pasangan yang perempuan meminta turis-turis lain untuk minggir. Ia mau
latar belakang fotonya steril. Sayangnya, cara gadis itu meminta kurang elegan,
terkesan seperti mengusir. Salah satu turis yang dihalau tersulut emosinya. Kebetulan
turis ini pria berperawakan sangar, bertato dan berotot. Cocok untuk
antagonis-antagonisan. Pria sangar ini melotot dan meloloskan sumpah-serapah
dari mulutnya pada sepasang kekasih narsis itu. Namun, pasangan yang laki-laki
tak gentar. Demi membela kekasihnya, dan karena merasa punya bekal ilmu silat
yang cukup, ditantangnya pria bertato itu, setelah dengan penuh kasih sayang
menyuruh pacarnya minggir. Biar Kakang selesaikan secara ksatria, Diajeng, katanya
penuh percaya diri.
“Eh,
sudah, sudah, sudah, mohon bubar, bubar, bubar!!!” Yanto dan dua rekannya
menyeruak, menerobos lingkaran turis yang sudah siap dengan gawai masing-masing
untuk merekam adegan laga, adu ilmu kanuragan di Candi Borobudur. Tentunya akan
sangat epik. Namun kedatangan Yanto dan dua satpam lain membuyarkan semua
ekpektasi mereka. Yanto mengelus dada waktu didengarnya seseorang mengeluh,
“Yaaahhh… Ra sido deh.”
Menurutmu
ini tempat apa? Yanto jengkel. Cagar budaya, atau arena adu ayam?
Usai
ikut mendamaikan kedua pihak yang bertikai di pos satpam dengan makanan ringan,
teh botol, dan wejangan kepala sekuriti disertai informasi ancaman pidana yang
bisa dilayangkan apabila terjadi perkelahian (Pasal 184 KUHP), Yanto berjalan
ke area merokok khusus satpam, di tempat khusus yang tidak boleh disebutkan di
sini. Di tempat itu sudah menunggu dua kawannya yang tadi ikut melerai. Sebut
saja mereka Tonggos dan Brengos, karena salah satu dari mereka punya deretan
gigi depan yang offside dan yang satunya lagi berkumis selebat Alas
Purwo kebanggaan Banyuwangi.
YANTO (kepada TONGGOS) “Rokokmu
masih?”
TONGGOS “Masih, mild tapi. Doyan po?
YANTO (kepada BRENGOS) “Rokokmu?”
BRENGOS “Lintingan mau?”
YANTO “Oke.”
(YANTO menerima kotak isi tembakau dan kertas rokok dari BRENGOS,
menjumput tembakau dan cengkeh, menaruhnya di kertas rokok, melintingnya, dan
menjepitkan lintingan itu di bibir. YANTO meminjam korek gasTONGGOS lalu
dibakarnya lintingan itu. Dihembuskannya asap pertama tebal-tebal sambil
mendongak, membentuk kumulonimbus mini di atas kepalanya.)
YANTO (bermonolog, TONGGOS dan BRENGOS mendengarkan dengan khidmat) “Aku ki sakjane males melerai yang tadi mau kepruk-keprukan itu. Ha mbok sak njepate, sak modare sekalian
ndak papa! Biar aja! Jengkel aku! Lagipula, pengunjung-pengunjung candi
sekarang itu kok ya le narsis minta
ampun. Teko candi, sing dijujug langsung stupa induk. Apa ya ndak
mau keliling-keliling dulu, muteri tingkat-tingkat, nonton-nonton relief. Aku ki dudu wong Buddha, dan aku ndak paham
itu sebenarnya relief-relief itu ceritanya apa. Tapi rak yo namanya berkunjung ke cagar budaya itu, harusnya menghargai to? Menghargai hasil karya para empu,
para pemahat, pemikir jaman dulu. Relief-relief itu bikinnya susah, watu semono akehe, mbok tatah dhewe yo
buntung tanganmu! Lha wong candinya
itu tidak tiba-tiba dibangun, semalam langsung jadi koyo mbangun kastil neng game
onlen kae. Bangunan sak hoha kae ki
dibangun untuk ibadat. Kudune yo
pengunjung, apapun agamanya, bisa menghargai kesakralannya, ya to? Minimal rasah alay lah! Rasah
ancik-ancik stupa opo nangkring neng pagar
langkan, opo nglungguhi patung singa
di undak-undakan! Nek meh fota-foto ya
biasa wae! Sewajarnya, gantian sama pengunjung
lain. Wong ya sekarang teknologinya
sudah maju, fotonya bisa diedit. Orang-orang di belakang itu bisa dihilangin, opo diganti kucing po wedhus sisan, sak karepe. Susahnya apa?”
BRENGOS “Jos.” (mengacungkan jempol, TONGGOS juga ikut
mengacungkan jempol)
TONGGOS (kepada YANTO) “Korekku To, Yanto, kok malah mbok kantongi ki kepie?”
Usai
merokok, Yanto kembali naik ke halaman candi. Tiba-tiba, entah mengapa, ia
merasa begitu letih. Di pelataran candi, ia mencari tempat untuk duduk.
Ketemulah satu bangku panjang, di bawah pohon rindang. Di situ sudah ada
pengunjung yang lebih dulu duduk, seorang laki-laki bertubuh subur dan
berkacamata. Ia tampak khusyuk menatap candi yang masih ramai dikerumuni
peziarah milenial.
Yanto
melirik laki-laki di sampingnya ini. Sepertinya orang yang enak diajak bicara,
pikir Yanto. Ia punya banyak kenalan serupa, bertubuh tambun dan berkacamata,
dan mereka rata-rata adalah teman ngobrol yang baik. Contohnya: Mas Dul, pegawai
kelurahan bagian administrasi; lalu Pak Yazir, tukang tambal ban truk di Secang,
Magelang; kemudian ada Mas Ahmad, tukang kacamata keliling yang dalam kurun
waktu tertentu masuk kampung-kampung, menawarkan dan menagih cicilan kacamata secara
door to door. Pasti yang satu ini
enak diajak ngobrol, batin Yanto.
YANTO (menyapa) “Mas!”
LAKI-LAKI (menoleh, menatap Yanto sejenak) “Nggih Mas? Ada apa?”
YANTO “Sendirian Mas?”
LAKI-LAKI “Iya Mas, lha wong saya ndak kepikiran mau kesini
sebelumnya. Tiba-tiba aja kepingin. Kalau mau ngajak teman, apalagi ngajak
cewek, kelamaan Mas.”
YANTO “Hahahaha… Bener Mas.
Kalo ndadak nunggu temen, malah ndak
berangkat-berangkat nanti.”
LAKI-LAKI “Lha iya Mas,
hehehe… Apalagi ini saya pikniknya punya misi Mas.”
YANTO (tertarik) “Misi? Misi apa Mas?”
(LAKI-LAKI itu menunjukkan sebuah buku berjudul “Sutasoma”, karya Mpu
Tantular, terbitan Komunitas Bambu. YANTO tertarik, menerima buku itu dari
LAKI-LAKI yang tanggap akan ketertarikannya.)
YANTO “Sutasoma ini ndak sing bikin semboyan Bhineka Tunggal
Ika itu to Mas?”
LAKI-LAKI “Bener Mas. Lha
itu misi saya kemari. Misi dadakan sih, hehehe…”
YANTO (semakin penasaran) “Misinya apa to
Mas? Hubungannya sama buku ini apa?”
LAKI-LAKI (mencondongkan tubuh ke arah YANTO, air
mukanya lebih serius) “Di candi ini Mas, ada rangkaian relief yang judulnya
“Gandawyuha.” Itu kurang lebih begini Mas, menceritakan perjalanan spiritual
seorang pangeran bernama Sudhana, yang mencari kebijaksanaan sejati. Nah, di
relief itu diceritakan bahwa dia berjumpa dengan bangsawan, rakyat jelata,
bahkan dengan Buddha sendiri. Ia menimba kebijaksanaan sedalam-dalam dan
seluas-luasnya dari tokoh-tokoh itu. Namun, dari sekian banyak tokoh, ada satu
yang menarik Mas. Ngertos mboten?”
YANTO “Sopo Mas? Soeharto? Jokowi?”
(Keduanya tertawa ngakak. LAKI-LAKI itu sadar kalau ia terlalu serius,
sementara YANTO berhasil mencairkan suasana ruang kuliah dadakan dengan dagelan
kere.)
LAKI-LAKI “Hehehe… Iso-isone Mas. Yang saya maksud itu
Mahadewa Mas. Tahu Mahadewa?”
YANTO “Yang pernah disiarkan
film India itu bukan?”
LAKI-LAKI “Iya Mas, betul.
Batara Siwa Mahadewa. Nah, ternyata di Borobudur ini, ada panel relief yang
menceritakan perjumpaan Sudhana dengan Mahadewa, yang notabene dewa Hindu.
Padahal ini candi Buddha. Rak yo luar
biasa to Mas? Di negara-negara lain, bahkan di negara yang mayoritas Buddhis, ndak ada kisah “Gandawyuha” yang seperti
ini, cuma di Indonesia thok. Piye, aneh to Mas? Hehehe… Lha itu misi saya Mas. Saya mau foto bait di buku
ini yang ada Bhineka Tunggal Ika-nya di bawah relief itu. (membuka buku, dan memperlihatkan bait yang dimaksud) Ini Mas:
Rwāneka
dhātu winuwus wara Buddha Wiśwa,
bhīneki rakwa ring apan kěna parwanosěn,
mangkāng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
bhīneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
(Konon
Buddha dan Siwa adalah dua dzat yang
berbeda,
namun
tiadalah tampak perbedaannya,
lantaran
kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah satu,
berbeda,
namun tetap satu, tak ada kerancuan dalam kebenaran.)
YANTO “Wooo… Ya ya ya… Paham
Mas. Jadi, leluhur itu sudah punya cita-cita persatuan diatas keberagaman, gitu
nggih?”
LAKI-LAKI “Betul Mas.
Makanya itu rak yo lucu nek bangsa kita sekarang ini isinya cuma
sengit-sengitan satu sama lain,
merasa kelompoknya, sukunya, agamanya paling benar. Lucu Mas! (melihat jam
tangan) Wah, sudah mau Ngasar Mas,
nanti selak sore. Tak naik ke candi
dulu Mas, sampai ketemu lagi. (menjabat
tangan) Namanya siapa njenengan Mas?”
YANTO “Saya Yanto, Mas. Njenengan?”
LAKI-LAKI “Saya Ag… (terdengar bunyi petir menyambar cukup keras,
memekakkan telinga, menyamarkan jawaban LAKI-LAKI itu)”
YANTO “Siap Mas, salam
kenal! Sampai ketemu! Monggo, selak udan mas,
itu tadi petirnya keras sekali.”
LAKI-LAKI “Siap!” (berjalan
ke arah candi, meninggakan Yanto)
Laki-laki aneh, pikir Yanto. Datang ke candi, bawa
buku, cari relief terus mau difoto bareng isi bukunya? Gusti Allah, iki dino opo to ya? Yanto tak habis
pikir. Waktu merokok tadi ia lantang menyuarakan respek terhadap cagar budaya,
dan kini ketika ia menjumpai sosok yang ideal untuk itu, dirasanya sosok
barusan terlalu berlebihan. Sepaneng
banget wong kae, batin Yanto. Mesti
rung duwe bojo, pikirnya geli.
Dipandangnya langit. Masih cerah, belum ada
tanda-tanda hujan turun. Tapi tadi ada petir menyambar cukup keras. Ah,
pertanda apa pula itu tadi? Yanto menerka-nerka. Biasanya kalau ada petir di cerah hari bolong, akan ada peristiwa besar
di negeri ini. Yanto mengingat ucapan almarhum simbahnya. Waktu itu,
simbahnya yang asli Jogja bercerita tentang saat meninggalnya Sultan Hamengku
Buwono IX di Washington D.C., Amerika Serikat, pada tahun 1988. Meskipun beliau
wafat di tempat yang jauh, banyak warga Jogja yang bersaksi mendengar bunyi
petir menggelegar di siang hari bolong, di hari mangkatnya Sang Sultan. Padahal
saat itu sudah masuk musim kemarau…
***
Pukul
lima sore sudah lewat. Yanto masih duduk di undak-undakan Arupadhatu, area
puncak Candi Borobudur tempat stupa induk berada, dikelilingi stupa-stupa kecil
dalam formasi konsentrik tiga tingkat. Sendirian, ia memandangi senja yang
makin merembang sambil mengingat-ingat hiruk-pikuk turis minggu lalu, dan membandingkannya
dengan senyapnya pengunjung minggu ini. Yanto teringat sambaran petir di sore yang
cerah itu, selepas ia berbincang dengan laki-laki yang membawa buku Sutasoma.
Benar, ada peristiwa besar di negeri ini, pikir Yanto
sambil meraba masker yang menggantung di kuping kirinya. Ia mengambil hand sanitizer dari saku celana, dan
diusapkannya ke kedua telapak tangan. Ia sudah mendengar kabar kalau pihak
pengelola kawasan wisata Candi Borobudur akan menutup sementara akses masuk
candi untuk wisatawan, untuk menanggulangi risiko penularan virus mematikan
yang menghebohkan seantero jagad. Yanto termenung. Ia seperti enggan
meninggalkan candi itu, pulang ke rumah, bertemu dengan istrinya yang cantik
dan melanjutkan proyek Yanto junior. Ada yang aneh denganku hari ini, pikirnya.
Rasanya seperti aku mendapat pencerahan, tapi kok mampet ini. Tidak bisa
langsung mak byaaarrr…terang
benderaaanngg…
“Mikir apa Mas Yanto?”
Kaget,
Yanto melihat sekeliling. Tidak ada orang. Suara siapa itu? Ah, mungkin aku
sudah lapar dan halusinasi. Bakso enak iki,
pikir Yanto sambil membayangkan semangkuk bakso dengan mata terpejam. Satu
menit setelahnya, pencerahan itu muncullah.
(suara itu terdengar lagi, jauh di dasar batinnya.)
SUARA “Mas Yanto, paham
sekarang Bhineka Tunggal Ika ya Mas?”
YANTO (bicara di alam batin) “Hampir paham, tolong jelaskan.”
SUARA “Siap Mas. Njenengan satpam di candi ini, dan
menyaksikan berbagai tingkah polah turis. Ada yang normal, ada yang nyebahi, nggatheli, nganeh-anehi dan
segala macam. Saat ini, mereka semua bersatu Mas. Bersatu dalam satu
keprihatinan.”
YANTO “Bersatu dalam keprihatinan?
Keprihatinan apa?”
SUARA “Bersatu ora iso plesir, Mas! Karantina di rumah
sendiri-sendiri, gara-gara virus janc*uk
iku Mas! Mudheng?”
YANTO (penuh kelegaan)
“Ooooooo……. (namun tiba-tiba heran) “Sik-sik, aku tercerahkan tapi kok receh ngene
iki yo pencerahannya?”
SUARA "Wis to Mas, rasah mbok pikir banget-banget. Sana pulang, ditunggu istrimu. Jaga
kesehatan Mas, hati-hati di jalan!”
Yanto berdiri,
merentangkan tangan ke atas hingga terdengar suara tulang punggungnya
gemeletuk. Ahh, muliiihhh…ujarnya.
Sebelum menuruni undak-undakan yang mengarah ke kaki candi, Yanto berhenti
sesaat, mengedarkan pandangan ke stupa-stupa di Arupadhatu dan menatap stupa
induk untuk beberapa saat. Dengan mata batinnya, ia seperti bisa melihat Buddha
di stupa induk itu menyeringai riang, dan tangan kanannya mengacungkan jempol
pada Yanto.
“JOSS!!!”
Yanto tertawa geli pada
penglihatan batinnya itu. Nek Buddha iso ra sepaneng, kudune aku yo rasah, pikirnya.
Dengan langkah ringan, dituruninya undak-undakan dan ditatapnya hari depan
dengan optimis.
LAMPU REDUP
YANTO “Sik, sik, iki jan-jane prosa opo
naskah drama sih??”
LAYAR TURUN.
SELESAI.
Karangwaru,
24 Maret 2020
Agathon H.
(penulis
adalah penggemar berat candi, terutama Candi Borobudur.
Pernah
menyelinap masuk Candi Borobudur tanpa bayar, setelah membeli buku di
bazaar buku
Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2019, di Hotel Manohara.)