Seriboe Djendela Blog

facebook twitter instagram
  • Home
  • About
  • Contact
  • Merchandise
  • Label
    • 20 Tahun TSD
    • Panggung
    • Puisi
    • Khas
    • Cerpen
    • Lakon


Kisah ini mengandung 60% pengalaman dan pengetahuan pribadi, dioplos dengan 15% cerita pemilik warung di Gereja Ayam Bukit Rhema, 15% cerita satpam Candi Borobudur, dan 10% khayalan.
Baik dibaca dengan camilan kacang atau kwaci, atau krupuk jika kacang atau kwaci tak tersedia.


Senja masih cemerlang di atas langit Borobudur. Yanto melihat jam tangan. Hampir pukul lima, waktunya turun, pikir Yanto sambil meliukkan tubuhnya dan menguap. Dikuceknya mata dan dilepasnya topi hitam yang sedari pagi melindungi kepalanya dari sengat dan sangit matahari. Reflek diciumnya bagian dalam topi. Hmmm…bau apak yang nikmat. Bau pria sejati pencari nafkah. Yanto tersenyum. Dibayangkannya mandi segar malam itu di rumah, dan lebih baik lagi kalau istrinya juga belum mandi. Ah, Welas memang selalu bikin kangen. Tiap pagi aku berangkat, belum lima meter dari rumah aku sudah kepingin pulang saja. Hehehe… Dasar manten anyar, cemooh Yanto pada dirinya sendiri.

Ia menyeringai, membayangkan malam itu ia mandi, dan istrinya bergabung. Tapi tak mungkin. Rumahnya cukup jauh di Parakan, Temanggung. Kasihan istriku kalau mandi pun harus menungguku pulang, Yanto geli. Lama-lama istrinya bisa rematik kalau mandi malam terus. Lagipula, sebelum pulang ke rumah, Yanto selalu menyempatkan diri mandi dulu di kamar mandi dekat pos satpam. Perjalanan ke Parakan butuh mata yang awas dan konsentrasi yang tinggi, apalagi kalau menjelang malam.

Di hari yang sama, minggu lalu, Yanto mengalami hari kerja yang cukup gila. Turis datang bagai bendungan jebol, menggenangi candi dari kaki hingga puncak. Yanto naik-turun bersama sepuluh rekannya mengawasi setiap tingkat candi, membantu para lansia meniti anak tangga yang cukup curam, dan menghardik turis yang hendak memanjat stupa dan berpose atraktif demi sebuah unggahan foto bertagar #saveourculture #BorobudurWorldHeritage #travelercantik. Yanto heran betul dengan kelakuan turis-turis jenis ini. Ha mbok difoto candinya saja kenapa, kalau memang menurutmu candinya bagus; tidak perlu ada kamunya, sampai naik-naik stupa segala, kritik Yanto tanpa suara. Lima tahun belakangan, turis macam begini makin banyak, bahkan mungkin lebih banyak daripada lumut candi. Yanto bergidik.

Sekitar jam 12 siang, nyaris ada yang baku hantam di dekat stupa induk. Antar turis lokal. Turis lokal yang lain saling berkerumun. Turis asing turut serta, siap mengabadikan perkelahian itu untuk sebuah unggahan video bertagar #problemsolving #wonderfulindonesia. Akar permasalahannya lagi-lagi tak jauh dari hobi unggah-mengunggah. Sepasang kekasih hendak berswafoto diantara dua stupa, dengan latar belakang stupa induk. Kamera sudah terpasang di tripod, penghitung mundur dijalankan, lalu ketika kamera mengambil foto, hasilnya tak seperti yang diharapkan. Orang-orang lalu-lalang di belakang mereka. Tak puas dengan hasil foto, pasangan yang perempuan meminta turis-turis lain untuk minggir. Ia mau latar belakang fotonya steril. Sayangnya, cara gadis itu meminta kurang elegan, terkesan seperti mengusir. Salah satu turis yang dihalau tersulut emosinya. Kebetulan turis ini pria berperawakan sangar, bertato dan berotot. Cocok untuk antagonis-antagonisan. Pria sangar ini melotot dan meloloskan sumpah-serapah dari mulutnya pada sepasang kekasih narsis itu. Namun, pasangan yang laki-laki tak gentar. Demi membela kekasihnya, dan karena merasa punya bekal ilmu silat yang cukup, ditantangnya pria bertato itu, setelah dengan penuh kasih sayang menyuruh pacarnya minggir. Biar Kakang selesaikan secara ksatria, Diajeng, katanya penuh percaya diri.

“Eh, sudah, sudah, sudah, mohon bubar, bubar, bubar!!!” Yanto dan dua rekannya menyeruak, menerobos lingkaran turis yang sudah siap dengan gawai masing-masing untuk merekam adegan laga, adu ilmu kanuragan di Candi Borobudur. Tentunya akan sangat epik. Namun kedatangan Yanto dan dua satpam lain membuyarkan semua ekpektasi mereka. Yanto mengelus dada waktu didengarnya seseorang mengeluh, “Yaaahhh… Ra sido deh.”

Menurutmu ini tempat apa? Yanto jengkel. Cagar budaya, atau arena adu ayam?

Usai ikut mendamaikan kedua pihak yang bertikai di pos satpam dengan makanan ringan, teh botol, dan wejangan kepala sekuriti disertai informasi ancaman pidana yang bisa dilayangkan apabila terjadi perkelahian (Pasal 184 KUHP), Yanto berjalan ke area merokok khusus satpam, di tempat khusus yang tidak boleh disebutkan di sini. Di tempat itu sudah menunggu dua kawannya yang tadi ikut melerai. Sebut saja mereka Tonggos dan Brengos, karena salah satu dari mereka punya deretan gigi depan yang offside  dan yang satunya lagi berkumis selebat Alas Purwo kebanggaan Banyuwangi.

YANTO  (kepada TONGGOS) “Rokokmu masih?”

TONGGOS  “Masih, mild tapi. Doyan po?

YANTO  (kepada BRENGOS) “Rokokmu?”

BRENGOS  “Lintingan mau?”

YANTO  “Oke.”

(YANTO menerima kotak isi tembakau dan kertas rokok dari BRENGOS, menjumput tembakau dan cengkeh, menaruhnya di kertas rokok, melintingnya, dan menjepitkan lintingan itu di bibir. YANTO meminjam korek gasTONGGOS lalu dibakarnya lintingan itu. Dihembuskannya asap pertama tebal-tebal sambil mendongak, membentuk kumulonimbus mini di atas kepalanya.)

YANTO  (bermonolog, TONGGOS dan BRENGOS mendengarkan dengan khidmat) “Aku ki sakjane males melerai yang tadi mau kepruk-keprukan itu. Ha mbok sak njepate, sak modare sekalian ndak papa! Biar aja! Jengkel aku! Lagipula, pengunjung-pengunjung candi sekarang itu kok ya le narsis minta ampun. Teko candi, sing dijujug langsung stupa induk. Apa ya ndak mau keliling-keliling dulu, muteri tingkat-tingkat, nonton-nonton relief. Aku ki dudu wong Buddha, dan aku ndak paham itu sebenarnya relief-relief itu ceritanya apa. Tapi rak yo namanya berkunjung ke cagar budaya itu, harusnya menghargai to? Menghargai hasil karya para empu, para pemahat, pemikir jaman dulu. Relief-relief itu bikinnya susah, watu semono akehe, mbok tatah dhewe yo buntung tanganmu! Lha wong candinya itu tidak tiba-tiba dibangun, semalam langsung jadi koyo mbangun kastil neng game onlen kae. Bangunan sak hoha  kae ki dibangun untuk ibadat. Kudune yo pengunjung, apapun agamanya, bisa menghargai kesakralannya, ya to? Minimal rasah alay lah! Rasah ancik-ancik stupa opo nangkring neng pagar langkan, opo nglungguhi patung singa di undak-undakan! Nek meh fota-foto ya biasa wae! Sewajarnya, gantian sama pengunjung lain. Wong ya sekarang teknologinya sudah maju, fotonya bisa diedit. Orang-orang di belakang itu bisa dihilangin, opo diganti kucing po wedhus sisan, sak karepe. Susahnya apa?”

BRENGOS  “Jos.” (mengacungkan jempol, TONGGOS juga ikut mengacungkan jempol)

TONGGOS  (kepada YANTO) “Korekku To, Yanto, kok malah mbok kantongi ki kepie?”
     
Usai merokok, Yanto kembali naik ke halaman candi. Tiba-tiba, entah mengapa, ia merasa begitu letih. Di pelataran candi, ia mencari tempat untuk duduk. Ketemulah satu bangku panjang, di bawah pohon rindang. Di situ sudah ada pengunjung yang lebih dulu duduk, seorang laki-laki bertubuh subur dan berkacamata. Ia tampak khusyuk menatap candi yang masih ramai dikerumuni peziarah milenial.

Yanto melirik laki-laki di sampingnya ini. Sepertinya orang yang enak diajak bicara, pikir Yanto. Ia punya banyak kenalan serupa, bertubuh tambun dan berkacamata, dan mereka rata-rata adalah teman ngobrol yang baik. Contohnya: Mas Dul, pegawai kelurahan bagian administrasi; lalu Pak Yazir, tukang tambal ban truk di Secang, Magelang; kemudian ada Mas Ahmad, tukang kacamata keliling yang dalam kurun waktu tertentu masuk kampung-kampung, menawarkan dan menagih cicilan kacamata secara door to door. Pasti yang satu ini enak diajak ngobrol, batin Yanto.

YANTO  (menyapa) “Mas!”

LAKI-LAKI  (menoleh, menatap Yanto sejenak) “Nggih Mas? Ada apa?”

YANTO  “Sendirian Mas?”

LAKI-LAKI  “Iya Mas, lha wong saya ndak kepikiran mau kesini sebelumnya. Tiba-tiba aja kepingin. Kalau mau ngajak teman, apalagi ngajak cewek, kelamaan Mas.”

YANTO  “Hahahaha… Bener Mas. Kalo ndadak nunggu temen, malah ndak berangkat-berangkat nanti.”

LAKI-LAKI  “Lha iya Mas, hehehe… Apalagi ini saya pikniknya punya misi Mas.”

YANTO  (tertarik) “Misi? Misi apa Mas?”

(LAKI-LAKI itu menunjukkan sebuah buku berjudul “Sutasoma”, karya Mpu Tantular, terbitan Komunitas Bambu. YANTO tertarik, menerima buku itu dari LAKI-LAKI yang tanggap akan ketertarikannya.)

YANTO  “Sutasoma ini ndak sing bikin semboyan Bhineka Tunggal Ika itu to Mas?”

LAKI-LAKI  “Bener Mas. Lha itu misi saya kemari. Misi dadakan sih, hehehe…”

YANTO  (semakin penasaran) “Misinya apa to Mas? Hubungannya sama buku ini apa?”

LAKI-LAKI  (mencondongkan tubuh ke arah YANTO, air mukanya lebih serius) “Di candi ini Mas, ada rangkaian relief yang judulnya “Gandawyuha.” Itu kurang lebih begini Mas, menceritakan perjalanan spiritual seorang pangeran bernama Sudhana, yang mencari kebijaksanaan sejati. Nah, di relief itu diceritakan bahwa dia berjumpa dengan bangsawan, rakyat jelata, bahkan dengan Buddha sendiri. Ia menimba kebijaksanaan sedalam-dalam dan seluas-luasnya dari tokoh-tokoh itu. Namun, dari sekian banyak tokoh, ada satu yang menarik Mas. Ngertos mboten?”

YANTO  “Sopo Mas? Soeharto? Jokowi?”

(Keduanya tertawa ngakak. LAKI-LAKI itu sadar kalau ia terlalu serius, sementara YANTO berhasil mencairkan suasana ruang kuliah dadakan dengan dagelan kere.)

LAKI-LAKI  “Hehehe… Iso-isone Mas. Yang saya maksud itu Mahadewa Mas. Tahu Mahadewa?”

YANTO  “Yang pernah disiarkan film India itu bukan?”

LAKI-LAKI  “Iya Mas, betul. Batara Siwa Mahadewa. Nah, ternyata di Borobudur ini, ada panel relief yang menceritakan perjumpaan Sudhana dengan Mahadewa, yang notabene dewa Hindu. Padahal ini candi Buddha. Rak yo luar biasa to Mas? Di negara-negara lain, bahkan di negara yang mayoritas Buddhis, ndak ada kisah “Gandawyuha” yang seperti ini, cuma di Indonesia thok. Piye, aneh to Mas? Hehehe… Lha itu misi saya Mas. Saya mau foto bait di buku ini yang ada Bhineka Tunggal Ika-nya di bawah relief itu. (membuka buku, dan memperlihatkan bait yang dimaksud) Ini Mas:

Rwāneka dhātu winuwus wara Buddha Wiśwa,
bhīneki rakwa ring apan kěna parwanosěn,
mangkāng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
bhīneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

(Konon Buddha dan Siwa adalah dua dzat yang berbeda,
namun tiadalah tampak perbedaannya,
lantaran kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah satu,
berbeda, namun tetap satu, tak ada kerancuan dalam kebenaran.)

YANTO  “Wooo… Ya ya ya… Paham Mas. Jadi, leluhur itu sudah punya cita-cita persatuan diatas keberagaman, gitu nggih?”

LAKI-LAKI  “Betul Mas. Makanya itu rak yo lucu nek bangsa kita sekarang ini isinya cuma sengit-sengitan satu sama lain, merasa kelompoknya, sukunya, agamanya paling benar. Lucu Mas! (melihat jam tangan) Wah, sudah mau Ngasar Mas, nanti selak sore. Tak naik ke candi dulu Mas, sampai ketemu lagi. (menjabat tangan) Namanya siapa njenengan Mas?”

YANTO  “Saya Yanto, Mas. Njenengan?”

LAKI-LAKI  “Saya Ag… (terdengar bunyi petir menyambar cukup keras, memekakkan telinga, menyamarkan jawaban LAKI-LAKI itu)”

YANTO  “Siap Mas, salam kenal! Sampai ketemu! Monggo, selak udan mas, itu tadi petirnya keras sekali.”

LAKI-LAKI  “Siap!” (berjalan ke arah candi, meninggakan Yanto)

                Laki-laki aneh, pikir Yanto. Datang ke candi, bawa buku, cari relief terus mau difoto bareng isi bukunya? Gusti Allah, iki dino opo to ya? Yanto tak habis pikir. Waktu merokok tadi ia lantang menyuarakan respek terhadap cagar budaya, dan kini ketika ia menjumpai sosok yang ideal untuk itu, dirasanya sosok barusan terlalu berlebihan. Sepaneng banget wong kae, batin Yanto. Mesti rung duwe bojo, pikirnya geli.

                Dipandangnya langit. Masih cerah, belum ada tanda-tanda hujan turun. Tapi tadi ada petir menyambar cukup keras. Ah, pertanda apa pula itu tadi? Yanto menerka-nerka. Biasanya kalau ada petir di cerah hari bolong, akan ada peristiwa besar di negeri ini. Yanto mengingat ucapan almarhum simbahnya. Waktu itu, simbahnya yang asli Jogja bercerita tentang saat meninggalnya Sultan Hamengku Buwono IX di Washington D.C., Amerika Serikat, pada tahun 1988. Meskipun beliau wafat di tempat yang jauh, banyak warga Jogja yang bersaksi mendengar bunyi petir menggelegar di siang hari bolong, di hari mangkatnya Sang Sultan. Padahal saat itu sudah masuk musim kemarau…

***

Pukul lima sore sudah lewat. Yanto masih duduk di undak-undakan Arupadhatu, area puncak Candi Borobudur tempat stupa induk berada, dikelilingi stupa-stupa kecil dalam formasi konsentrik tiga tingkat. Sendirian, ia memandangi senja yang makin merembang sambil mengingat-ingat hiruk-pikuk turis minggu lalu, dan membandingkannya dengan senyapnya pengunjung minggu ini. Yanto teringat sambaran petir di sore yang cerah itu, selepas ia berbincang dengan laki-laki yang membawa buku Sutasoma.

                Benar, ada peristiwa besar di negeri ini, pikir Yanto sambil meraba masker yang menggantung di kuping kirinya. Ia mengambil hand sanitizer dari saku celana, dan diusapkannya ke kedua telapak tangan. Ia sudah mendengar kabar kalau pihak pengelola kawasan wisata Candi Borobudur akan menutup sementara akses masuk candi untuk wisatawan, untuk menanggulangi risiko penularan virus mematikan yang menghebohkan seantero jagad. Yanto termenung. Ia seperti enggan meninggalkan candi itu, pulang ke rumah, bertemu dengan istrinya yang cantik dan melanjutkan proyek Yanto junior. Ada yang aneh denganku hari ini, pikirnya. Rasanya seperti aku mendapat pencerahan, tapi kok mampet ini. Tidak bisa langsung mak byaaarrr…terang benderaaanngg…

“Mikir apa Mas Yanto?”

Kaget, Yanto melihat sekeliling. Tidak ada orang. Suara siapa itu? Ah, mungkin aku sudah lapar dan halusinasi. Bakso enak iki, pikir Yanto sambil membayangkan semangkuk bakso dengan mata terpejam. Satu menit setelahnya, pencerahan itu muncullah.

(suara itu terdengar lagi, jauh di dasar batinnya.)

SUARA  “Mas Yanto, paham sekarang Bhineka Tunggal Ika ya Mas?”

YANTO  (bicara di alam batin) “Hampir paham, tolong jelaskan.”

SUARA  “Siap Mas. Njenengan satpam di candi ini, dan menyaksikan berbagai tingkah polah turis. Ada yang normal, ada yang nyebahi, nggatheli, nganeh-anehi dan segala macam. Saat ini, mereka semua bersatu Mas. Bersatu dalam satu keprihatinan.”

YANTO  “Bersatu dalam keprihatinan? Keprihatinan apa?”

SUARA  “Bersatu ora iso plesir, Mas! Karantina di rumah sendiri-sendiri, gara-gara virus janc*uk iku Mas! Mudheng?”

YANTO (penuh kelegaan) “Ooooooo……. (namun tiba-tiba heran) “Sik-sik, aku tercerahkan tapi kok receh  ngene iki yo pencerahannya?”

SUARA  "Wis to Mas, rasah mbok pikir banget-banget. Sana pulang, ditunggu istrimu. Jaga kesehatan Mas, hati-hati di jalan!”

Yanto berdiri, merentangkan tangan ke atas hingga terdengar suara tulang punggungnya gemeletuk. Ahh, muliiihhh…ujarnya. Sebelum menuruni undak-undakan yang mengarah ke kaki candi, Yanto berhenti sesaat, mengedarkan pandangan ke stupa-stupa di Arupadhatu dan menatap stupa induk untuk beberapa saat. Dengan mata batinnya, ia seperti bisa melihat Buddha di stupa induk itu menyeringai riang, dan tangan kanannya mengacungkan jempol pada Yanto.

“JOSS!!!”

Yanto tertawa geli pada penglihatan batinnya itu. Nek Buddha iso ra sepaneng, kudune aku yo rasah, pikirnya. Dengan langkah ringan, dituruninya undak-undakan dan ditatapnya hari depan dengan optimis.  


LAMPU REDUP

YANTO  “Sik, sik, iki jan-jane prosa opo naskah drama sih??”


LAYAR TURUN.
SELESAI.

 

Karangwaru, 24 Maret 2020
Agathon H.

(penulis adalah penggemar berat candi, terutama Candi Borobudur.
Pernah menyelinap masuk Candi Borobudur tanpa bayar, setelah membeli buku di
bazaar buku Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2019, di Hotel Manohara.)



March 25, 2020 1 komentar

Dalam remang lampu teplok
Secuil isyarat mengetuk isi kepala
Seketika Ia masuk dalam ruang 7x8 yang temaram
Hitam pantat yang melekat pekat sisa semalam
Akan siap di eksekusi kembali.

"Sayat aku! dan akan ku bakar habis lidahmu"
Beberapa dari mereka telah mati
Menciptakan rasa pada luka demi cinta
Dan semua yang diberikan telah kembali.

Semuanya telah menjadi abu
Beberapa dari mereka masih di atas tungku
Sendok dan garpu tersenyum manis
Dalam balutan jarik tua itu,
Ia siap menghabisi mereka.

Yogyakarta, 24 Maret
Ignatius Tegar.


March 25, 2020 2 komentar
Kata mereka, “Nanti besar mau jadi apa?”
Apakah hewan seperti aku layak punya cita-cita?
Aku hanya bintang kotor
Aku hanya hewan buangan
Hidup dicomberan
Tempat dimana kartu dan alcohol beradu

Alas tidurku dari Koran
Sumber ilmuku dari Koran
Aku makan pun dari Koran

Orang hanya melihat sebelah mata
Orang melihat hanya dari luarnya

Aku hanya binatang rendah
Aku hanya pantas di lindas!
Di dunia aku hanyalah hanya.

Kata mereka, “Nanti besar mau jadi apa?”
Apakah hewan seperti aku layak punya cita-cita?


RenA


March 24, 2020 2 komentar

“Bapak yakin bahwa kalian atau salah satu dari antara kalian akan membawa lentera dan
membagikan cahayanya ke ke anak-anak berikutnya.”
Pak Trostov membagikan cahayanya ke dalam lentera kami. Sekitar kami pun terang dan
kunang-kunang berterbangan di sekitar kami. Ternyata cahaya Pak Trostov menghadirkan
keindahan di tengah-tengah rimba yang gelap. Aku termenung menatap bintang-bintang dan
tenggelam dalam renungan.
“Apa sebenarnya maksud dari kata-kata Pak Trostov? Mengapa ia begitu yakin bahwa kami akan
membagikan cahaya kepada orang lain? Dan siapa yang akan kami bagikan?”

*
Empat belas tahun berlalu, cahaya lentera masih menyala, walaupun tak seterang dahulu.
“Dok… dok…” Ketuk pintu.
“Siapa?”
Selama aku tinggal di rumah ini, tidak pernah seorang pun mengetuk pintu rumahku. Ya, wajar
saja, siapa juga yang ingin berkunjung ke rumah yang berada di bibir rimba yang jauh dari hiruk-
pikuk keramaian. Ku buka pintu. Tidak ada siapa-siapa? Heran, Aku masuk lagi ke dalam
rumah, menutup pintu dan duduk kembali di kursi dekat perapian.
Tak lama terdengar kembali ketukan pintu. Dengan tergopoh-gopoh, aku beranjak dan membuka
pintu. Tetapi tetap saja tidak ada orang yang tampak di balik pintu itu. Aku mulai curiga. Jangan-
jangan ada orang yang sengaja mengerjaiku. Siapa juga yang datang kemari di malam-malam
buta seperti ini? Perlahan-lahan, mengendap-endap, sambil membawa lentera di tangan kanan,
aku menyusuri sekitar rumah. Entah dari mana, kunang-kunang datang berterbangan di sekitar
ku. Kemudian mereka membentuk sebuah barisan. Seolah-olah mereka ingin mengatakan,
“Ikuti aku!”
Aku ikutilah mereka dan sampailah aku di satu titik. Kunang-kunang itu terbang meninggalkan
ku. Tiba-tiba aku mendengar suara. Aku mendengar seseorang bernyanyi lirih,

“Sesat rimba, gelap gulita
Sendiri ku di dalamnya
Sesat rimba, pergi entah kemana
Bernyanyilah ku di tengah tengahnya”

Aku dekati suara itu dan aku melihat seorang anak jatuh tersungkur di tengah-tengah rimba yang
gelap. Aku hampirilah dia.
“Mengapa kamu di sini?”
“Tolong om… Aku dan teman-teman mau main di dalam rimba, kami mau melihat kunang-
kunang. Tapi tiba-tiba lentera kami mati dan kami pun tersesat. Teman-teman ku pergi semua minta bantuan. Tapi mereka belum kembali juga. Makanya, aku bernyanyi saja disini daripada
aku mencari mereka dan tersesat lebih jauh. Lebih baik aku bernyanyi dan berharap teman-teman
ku dapat mendengar suara ku dan pulang lagi bersama-sama lagi.”
“Apakah tidak ada orang pengembara rimba yang menemani kalian?
“Tidak… hanya kami berlima. Aku kira rimba itu menyenangkan. Ternyata rimba itu
menakutkan dan mengerikan.”
“Iya. Rimba mengerikan bila kamu sendirian dan tidak tahu apa-apa! Berikan pelitamu! Biar ku
berikan sebagian dari api ku. Aku akan bantu kamu cari teman-teman mu dan membawa kalian
keluar selamat.” Kami berjalan berdampingan, ku pegang erat tangannya supaya tidak tersesat
kembali.
Beruntungnya aku, dulu, empat belas tahun yang lalu. Aku pernah diajari tentang seluk-beluk
rimba, tentang pola-pola rimba, sistem-sistem rimba, aturan-aturan rimba dan bagaimana cara
menghadapinya. Kata Pak Trostov, rimba adalah tempat yang ajaib dan penuh misteri. Kamu
harus mampu beradaptasi.
Bekal ku tidaklah banyak. Tetapi cukup untuk membuatku tetap bernyawa. Sambil mencari, aku
juga bercerita tentang yang ku dapat dari Pak Trostov dan pengalaman ku di dalam rimba.

*
Tak perlu waktu yang lama tuk menemukan teman-temannya. Aku tahu segalanya, kemana arah
mereka berjalan berdasarkan ranting-ranting yang patah atau mungkin karena intuisi ku tentang
rimba sudah kuat atau mungkin juga cahaya rembulan dan bintang lah yang menuntun dalam
pencarian ku. Baru aku sadari, ternyata apa yang diajarkan oleh Pak Trostov ternyata sangatlah
berguna.
Sekitar, mungkin semalaman. Akhirnya lima-limanya dapat ditemukan. Lelah, memang, berjalan
semalaman di tengah-tengah rimba memang melelahkan, tetapi lelah itu sungguh menyenangkan.
Apalagi ketika melihat anak-anak itu tersenyum, berpelukan dan meloncat-loncat kegirangan.
Akhirnya mereka menemukan apa yang tadinya hilang.
Aku putuskan untuk beristirahat sejenak dan duduk melingkar di antara mereka. Kemudian kami
bercerita tentang kehidupan kami masing-masing. Aku pun mengajari mereka segala hal
mengenai rimba, supaya mereka tidak tersesat lagi bila masuk ke dalamnya. Sambil bercerita aku
pun membagikan cahaya lentera ku kepada anak-anak lainnya. Rimba pun kembali menjadi
terang. Kunang-kunang berterbangan di sekitar kami. O… teringat masa lalu. Dulu, saat
berkumpul dengan teman-teman dan Pak Trostov.
“Cletek!”
Bunyi ranting yang patah karena terinjak. Samar-samar aku melihat cahaya dari segala penjuru
arah mata angin. O… aku kenal cahayanya. Itu cahaya yang sama dengan cahaya yang
dibagiakan oleh Pak Trostov. Aku kenal sekali cahayanya. Apakah itu mereka? Mereka kembali ke dalam rimba? Dan.. dan apakah mereka kinijuga menjadi pengembara rimba?! Perlahan-
lahan sosoknya menjadi nyata. Kini giliaran kulah yang bersorak-sorai, memeluk mereka dan
menari-nari bersama mereka. Orang yang dulu bersama kini kembali bersama.
Aku melihat mereka dan mereka pun turut membawa anak-anak dan anak-anak itu juga
membawa lentera yang bercahaya.
Seketika, Rimba penuh cahaya-cahaya lentera, indah. Tak kalah indah dengan cahaya bintang-
bintang di langit malam.
Kini aku mengerti makna dari kata-kata yang dikatakan Pak Trostov empat belas tahun lalu.
Sebagai orang yang punya cahaya, alangkah indahnya bila dibagikan kepada orang lain. Supaya
malam yang gelap gulita dapat terang seperti bintang-bintang di malam hari dan supaya orang-
orang tidak tersesat di dalamnya lagi.


Arya Surya Pratama
March 24, 2020 No komentar

Malam ini jalanan basah lagi sayang..
Aku lihat sayup-sayup garis wajahmu berbalur ungunya keinginan
Dingin berhasil membekukannya
Namun kabut asap mewakili hasrat ku yang terus menerus mengikutimu
Terlalu tinggi, terlalu muluk
Ahh kusampaikan saja lewat senyum

Musim ini membuatmu tampak lebih kuinginkan dari masa-masa
sebelumnya
Kau menghangat kala sore, lalu membara api kala larut malam
Musik jazz, Sade, dan Trijntje Oosterhuis menjadi pengiringku untuk lagi-lagi membukakan ruang yg penuh kesejukan, dingin, aspal yang basah, kontras, deretan rumah, taman,mekar bunga,
...dan yang jelas semua itu adalah mimpi.
surga karya sendiri.

-Yogyakarta, 3 November 2019
sekar•prima•ndari
November 13, 2019 No komentar

Aku butuh afeksi
Aku rindu menetek pada ibuku
... biar semakin putih, semakin pulih
Kata diriku yang lain
Barusan,
Aku lihat kamu menari-nari di panggung Realino 
Sungguh teramat sangat seksi
Nyeri semua ototku
Sampai-sampai jantung hatiku ikut nyeri
Ehh tau-tau ada simpul senyummu berterbangan dengan sayap namun tak seperti pembalut bersayap
Mengawang-awang bagai filter story instagram
Dan tak lupa 
Keluarlah sekelakar geram
Berbasis bimbang dan dilema
Aku yang menari-nari dengan malas diiringi lagu-lagu dengan nada-nada sialan 
Apakah kau siap,
Jika aku benar-benar menginginkanmu?

- Yogyakarta, 2 Agustus 2019

sekar•prima•ndari
November 13, 2019 1 komentar






mas, ini susumu.
minumlah lebih banyak biar kamu sehat.
aku sangat senang membuatkanmu susu, entah hangat atau anyep, putih atau coklat.
kau cuma perlu susu rasa sulap tanganku.
kau menginginkan susu dariku adalah yang paling aku nikmati sampai saat nanti buntu

mas, gelasmu kosong lagi
sini aku isi
isi aku sini
sini isi aku
nanti kita akan jadi palung laut paling tajam
kita akan saling isi hingga air air asin tambah pekat mengerjai lagi
bahasamu: shipwrecked

-aba

October 30, 2019 7 komentar
Older Posts

Undangan Terbuka

Undangan Terbuka

Sedang Disiapkan

Sedang Disiapkan

Tulisan Favorit

  • Pawon
    Dalam remang lampu teplok Secuil isyarat mengetuk isi kepala Seketika Ia masuk dalam ruang 7x8 yang temaram Hitam pantat yang me...
  • Penjaga Candi
    Kisah ini mengandung 60% pengalaman dan pengetahuan pribadi, dioplos dengan 15% cerita pemilik warung di Gereja Ayam Bukit Rhema, 15% ...
  • Inilah diriku
    Kata mereka, “Nanti besar mau jadi apa?” Apakah hewan seperti aku layak punya cita-cita? Aku hanya bintang kotor Aku hanya hewan buangan ...

On Twitter!

Tweets by SeriboeDjendela

Created with by ThemeXpose