Saksi Bisu — Cerpen

by - September 12, 2018


Pria berkemeja hitam itu melirik arloji di tangan kirinya. Jari telunjuk kanannya mengetuk meja kayu dihadapannya berulang kali. Kakinya yang dibalut celana jin biru tua bergerak naik-turun seiring gerakan jari telunjuknya.

Pria itu menyesap sedikit dari secangkir espresso di hadapannya. Kemudian ia meraih handphone-nya. Tampak ibu jari kanannya bergerak naik-turun di layar, kemudian mengetuk layarnya sekali setelah dirasa menemukan apa yang dicarinya. Ia meletakkan handphone-nya di telinga sebelah kanan.

“Kamu di mana?” tanyanya setelah mendapat sambutan ‘halo’ dari seberang telepon.

“Mau aku pesenin minum, nggak?” tanyanya lagi.

“Oke, hati-hati,” pria itu mendesah dan meletakkan handphone-nya kembali di atas meja.

Lima menit kemudian pintu terbuka.

“Selamat datang,” sapa semua barista menyambut seorang perempuan berbalut kaus lengan panjang berwarna merah muda dan celana kulot di bawah lutut berwarna hitam yang baru memasuki kedai kopi.

Perempuan itu melempar senyum sekilas kepada para barista dan ia segera menghampiri meja pria
berkemeja hitam yang menatapnya sambil tersenyum.

“Mau ngomong apa?” tanya perempuan itu tanpa basa-basi setelah memastikan dirinya duduk dengan tepat dan nyaman di kursi kayu yang berhadapan dengan pria itu.

Pria itu menghela nafasnya.

“Kamu nggak mau pesen apa dulu gitu?” tanyanya.

“Kamu tau aku nggak bisa minum kopi,” jawab perempuan itu singkat sambil tersenyum miring.

“Di sini, kan, ada menu lain selain kopi. Coklat? Aku pesenin coklat, ya?”

“Terserah kamu,” tandas perempuan itu.

Pria itu segera bergegas ke meja barista dan tak lama kemudian kembali dengan membawa secangkir coklat.

“Panas?” tanya perempuan itu ketika melihat uap yang mengepul dari secangkir coklat itu.

“Lagi hujan soalnya, biar anget.”

“Mau ngomong apa?” Perempuan itu mengulang pertanyaannya tadi sambil menyesap coklat panasnya.

Pria itu tampak berpikir mau mulai bicara dari mana.

“Mau ngomong apa?” Perempuan itu mengulang pertanyaannya lagi dengan nada tidak sabar.

“Maaf,” ucap pria itu akhirnya dengan tidak menatap perempuan itu.

Perempuan itu menunggu pria itu melanjutkan kalimatnya. Namun pria itu tak kunjung melanjutkan
kalimatnya.

“Udah?” tanya perempuan itu sambil menaikkan sebelah alisnya.

Pria itu menatap perempuan di hadapannya. Ia melihat raut wajah yang tidak bisa dijelaskan dari
perempuan itu. Kemudian ia melempar pandangannya ke satu sisi dinding kedai.

Coffee doesn’t ask silly questions. Coffee understands.

Pria itu menyesap espresso di hadapannya yang masih tersisa sedikit. Ia menghela nafasnya. Ia benar-benar harus menurunkan gengsinya di hadapan perempuan itu.

“Maaf karena aku terlalu sibuk kerja. Maaf karena aku akhir-akhir ini nggak pernah ngasih kabar kamu, cuma nge-read chat kamu, nggak pernah ngangkat telepon kamu. Maaf karena aku lupa dateng ke ulang tahun kamu.”

Perempuan itu asyik menyesap coklatnya, tidak tampak berniat untuk menjawab. Ia masih menunggu kelanjutan kalimat pria itu.

Please, Vin. Masa cuma karena aku lupa ulang tahun kamu terus kita putus?” pria itu tampak gusar.
“Kamu ngertiin aku, lah. Kerjaanku banyak. Kamu tahu sendiri, kan, kayak apa sibuknya akuntan di akhir dan awal bulan, aku harus bikin banyak...”

“Jadi kamu pikir selama ini aku nggak ngertiin kamu?” perempuan itu menyela ucapan pria itu dengan santai namun dengan tatapan yang tajam.

“Bukan gitu, Vin,” pria itu tampak menahan suaranya supaya tidak meraih perhatian pengunjung kedai yang lain.

“Nggak masalah kalau emang aku berharap kamu inget ulang tahunku dengan sendirinya. Nggak
masalah, Van. Tapi aku udah ngingetin kamu setiap hari dari satu bulan sebelumnya. Bahkan aku ngasih undangan ke kamu. Aku nggak berharap kamu ngasih kejutan kayak biasanya. Aku cuma pengen kamu dateng. Udah.”

Perempuan itu tampak menahan agar air matanya tidak terjatuh.

“Aku tahu gimana sibuknya akuntan di akhir dan awal bulan. Tapi ulang tahunku bukan di akhir atau
awal bulan. Bahkan aku sengaja ngerayainnya nggak pas harinya, sengaja aku undur karena aku pengen kamu dateng.”

“Vinda, aku minta maaf...”

“Ada lagi yang mau diomongin? Kalau enggak, aku pulang.” perempuan yang bernama Vinda itu
memundurkan kursinya.

“Vinda,” ucap pria itu sambil menahan tangan Vinda untuk pergi.

Vinda melepaskan tangannya dari pria itu.

“Makasih untuk tiga tahunnya, Evan,” ucap Vinda sambil tersenyum. Kemudian ia melangkahkan kakinya ke kasir.

“Kamu udah selesai? Bisa anter aku pulang?” tanya Vinda.

Aku mengangguk dan tersenyum.

“Emang yang selalu ada akan ngalahin siapa pun walaupun katanya sayang. Jangan tiba-tiba hilang ya, Damar,” ucap Vinda sambil menggandeng tanganku.

Dev.
Yogyakarta, 4/8/17 


Published on imajidev.blogspot.com for #nuliskilat by Storial

You May Also Like

0 komentar