Sebuah Lakon (Saduran Cerita Rakyat Dari Bali Utara)

by - September 14, 2018



"Sebuah Lakon"

Desa Kalianget 

"Bli, saya pamit mau bermain ke sungai dulu!" teriak Nyoman kepada kakaknya yang sedang melukis di halaman rumah. "Hati-hati, Man. Jangan pulang terlalu sore," jawab kakaknya sembari mengaduk warna hijau saripati daun pandan yang sebelumnya sudah ditumbuk. Bayangan Nyoman cepat sekali pergi menjauh keluar desa ditelan jalan. Ketika mengaduk warna hijau, tiba-tiba saja tetesan berwarna merah jatuh dari hidung kakak Nyoman. Diusap hidungnya dengan tangan kirinya. Merah. Darah mengalir dari hidungnya. Ia letakkan alat lukisnya dan bergegas pergi ke dapur.

"Dewa Ratu!" teriaknya. Tergeletak tubuh ibunya dengan darah yang juga mengalir dari hidung. Matanya membelalak. Keringat ketakutan mulai membasahi wajahnya. Panik. Kakinya gemetar mencari ayah dan juga adik perempuannya. Hasilnya sama. Hanya tergeletak mayat ayah dan adik perempuannya di halaman belakang. Terdengar suara jeritan dari luar rumahnya. Namun belum sempat berlari atau menolong, ia jatuh dan pandangan matanya meredup. Wabah penyakit melanda desa Kalianget.

***

Seorang raja yang memegang kuasa atas beberapa wilayah di Bali Utara turun dan pergi ke desa Kalianget, desa yang terkena wabah penyakit dua hari lalu. Dengan kuda dan iring-iringan sederhana, raja dan beberapa pengawalnya memasuki desa. Kosong. Barang-barang tergeletak rapi di tempatnya masing-masing. Tidak ada bau bangke, bau menyengat dari bangkai daging itu sungguh-sungguh tidak tercium. Seorang Patih dengan badan yang sedikit tegap dan rambut yang terurai berbisik kepada raja,

"Mohon ampun Tuan Raja, tapi ini jelas sekali, wabah penyakit ini adalah aji-ajian dari orang sakti,"

"Tidak salah dugaanku," ucap raja sembari menepuk pundak Patihnya yang paling setia dan cerdas itu, Sawunggaling.

Setelah berkeliling, berhentilah mereka pada sebuah gubug kecil. Yang menarik perhatian raja adalah banyak lukisan-lukisan yang menggantung di dinding tembok berwarna merah bata. Masuk ke dalam rumah, di dalamnya tidak ada yang mewah dan menarik. Kaki raja melangkah semakin dalam, seolah-olah ada sesuatu yang menariknya.

"Hyang Widi!" Patih Sawunggaling dan beberapa pengawal langsung bergegeas masuk ke dalam rumah ketika mendengar teriakan sang raja.

Semua orang terkejut ketika melihat sesosok anak kecil setengah sadar terbaring di atas mayat ayah, ibu, kakak laki-laki dan perempuannya. Tangannya melambai-lambai memanggil raja beserta pengawalnya. Perlahan raja berjalan mendekat. Semakin jelas ia melihat tubuh bocah ini kurus kering dan matanya bengkak yang tersisa hanya ukiran bekas air mata di wajahnya.

"Na..ma..sa..ya...Nyo..man..Ja..ya..pra..na..." hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulut bocah yang akhirnya pingsan tak kuat menahan penderitaan hidupnya.

***

Kerajaan Wanekeling, Kalianget

Tumbuh dan besar di lingkungan kerajaan membuat Nyoman Jayaprana semakin menjadi seorang laki-laki sejati. Di sana ia belajar semua hal. Menari, memanah, berburu, dan juga hal-hal yang biasa dilakukan dalam upacara-upacara besar. Jayaprana tidak pernah sendirian. Di kerajaan itu banyak juga anak-anak kecil yang diselamatkan oleh raja dari berbagai desa. Suatu hari raja pernah berpesan,

"Sebaiknya kalian saling menikahlah. Tidak usah mencari pasangan dari luar lagi," pesan ini secara khusus diberikan kepada Jayaprana dan sahabat perempuannya, Made Metri. Made Metri adalah teman sebaya Jayaprana. Mereka selalu bersama-sama. Satu sama lain saling menaruh hati, tapi dalam situasi seperti ini Made Metri malu dan langsung menjawab dengan bercanda,

"Ah saya tidak mau Tuan. Nyoman banyak memiliki penggermar di luar puri, saingannya berat, Tuan!" jawab Made Metri dengan bercanda yang lalu dibalas hanya dengan senyuman oleh sang raja.

Jayaprana bingung. Ada sedikit retakan di hatinya yang ia rasakan. Made Metri menolak menjadi pasangannya, pikirnya kecewa. Demi malam yang semakin bertambah malam, Jayaprana hanya mampu menatap bulan dan merenungi kata-kata Made Metri, cinta pertamanya.

***

Tak terasa semakin bertambahnya umur Jayaprana, membuatnya semakin terlihat gagah. Para patih yang turut andil dalam pembentukan watak dan kepribadian Jayaprana, merasa bangga melihat sosok pemuda yang telah mampu menjadi ksatria ini. Namun tidak bagi Patih Arya Murka yang sedari awal tidak menaruh hati pada Jayaprana. Hanya satu, takut tersaingi.

Seperti biasa, ketika pagi hari, Jayaprana suka bermain ke kota untuk melihat-lihat orang-orang beraktivitas. Melihat pasar yang ramai dengan orang-orang kota bercampur orang-orang desa dengan hasil kebun, ternak, dan buruan. Semua bekerja apa adanya, tanpa aba-aba atau perintah dalam satu komando. Begitu juga halnya pada perasaan Jayaprana yang terpesona oleh seorang gadis yang melintas tak jauh dari dirinya. Seorang gadis berpenampilan sederhana justru membuatnya begitu menarik. Ya, jatuh cinta memang tidak pernah ada aba-aba. Ia datang begitu saja dan terjadi begitu saja.

Gadis itu pergi, namun kaki Jayaprana terus mengikutinya dari belakang hingga sampailah ia pada sebuah rumah yang tidak terlalu besar. Dari jauh, ia melihat gadis itu masuk ke dalam rumah. Sepengetahuan Jayaprana, itu adalah rumah Perbekel, kepala desa banjar Sekar. Bergegas Jayaprana lari dan pulang ke rumah memberitahu sang raja. Senang bukan main yang dirasakan sang raja dan seisi kerajaan. Dan sebaliknya, sedih bukan main yang dirasakan Made Metri mendengar kabar itu.

Setelah berbincang-bincang dengan Patih Sawunggaling, Jayaprana mulai mengenal lebih dalam dari jauh siapa gadis yang ia cintai itu. Namanya adalah Nyoman Layonsari. Dengan segala mohon, Jayaprana memohon kepada sang raja supaya ia sendirilah yang menulis dan mengirim surat untuk keluarga Layonsari. Sungguh sosok ksatria sejati nampak dalam pola pikir dan tingkah laku Jayaprana, batin raja senang mendengar hal itu. Surat ditulis Jayaprana dengan hati-hati. Di hutan, di kota, di taman, hingga pada malam-malam yang begitu romantis.

Sampai pada akhirnya surat lamaran telah siap untuk ia hanyutkan di sungai menuju rumah kepala desa banjar Sekar. Memang sudah tradisi, mengirim surat dengan sungai sebagai perantara. Tiba di pinggir sungai, dengan penuh kebanggaan dan kebahagiaan, Jayaprana menaruh sebuah botol yang berisi surat lamaranya ke tengah sungai. Tak jauh di belakang Jayaprana, ada tetesan air mata yang jatuh ke bumi dan menggetarkan hati. Made Metri keluar dari balik pohon dengan mengusap air matanya dengan selendang yang melingkar di bahunya.

Jayaprana terkejut melihat Made Metri.

"Sungguh kesalahan apa yang sudah aku perbuat pada Ida Sang Hyang Widi Wasa sehingga kau tidak melamar dan memilih aku, wahai sahabatku Jayaprana," air mata menetes dari mata Made Metri. Jayaprana bingung. Dengan tidak bermaksud mengungkit dan menyinggung Made Metri, Jayaprana sedikit menuduh bahwa Made Metri-lah yang telah lebih dahulu menolaknya ketika masih remaja.

"Kau ini bodoh! Atau memang aku yang bodoh?" bentak Made Metri mendengar argumen Jayaprana. "Perkataanku waktu itu hanyalah sebuah basa-basi. Aku hanya bercanda! Aku bodoh, aku terlalu malu waktu itu untuk mengaku bahwa aku cinta padamu!"

Jayaprana menangis. Perasaan yang selama ini ia buang akhirnya datang kembali seperti sebuah ombak raksasa yang menggulung hati dan pikirannya. Tapi surat lamaran tetap berjalan. Yang ada diantara Jayaprana dan Made Metri hanyalah penyesalan. Dengan segala budi luhur yang agung, Made Metri mengutuk pernikahan Jayaprana dalam penyesalannya.

Byuur! Made Metri menceburan diri ke dalam sungai, membiarkan dirinya terbawa arus begitu saja. Jayaprana lari dan langsung melompat ke dalam sungai mengejar Made Metri. Namun sial, dalam keadaan yang sangat tidak terduga, Jayaprana tidak mampu meraih tubuh Made Metri. Tubuh Jayaprana justru terpental setelah beberapa kali menabrak pinggir sungai hingga membuatnya tak sadarkan diri. Jayaprana justru hanyut di desa banjar Sekar, terpaksa diselamatkan oleh Patih Arya Murka yang ternyata sedang dinas di banjar Sekar.

Dan untuk pertama kalinya, Jayaprana terbangun dengan tatapan pertama melihat wajah Layonsari begitu dekat. Walau masih sedikit kurang jelas, tapi hatinya sudah sangat jelas bahwa ia tidak salah memilih wanita.

Di sisi lain sungai, Made Metri diselamatkan oleh seorang patih bijaksana bernama Arya Sudharma. Setelah sadar, Made Metri menceritakan semuanya pada patih Arya Sudharma. Dengan kebijaksanaan, patih Arya Sudharma mendengar kejujuran berbalut penyesalan dari Made Metri.

***

Pernikahan berlangsung. Sukacita menyelimuti seluruh daratan. Burung-burung terbang mesra, bunga-bunga bermekaran malu, dan daun-daun berguguran bangga. Jika ada yang tidak bahagia, maka hanya ada dua; Raja dan Patih Arya Murka. Sungguh sial, sang raja justru jatuh cinta kepada Layonsari, menantunya sendiri! Kerinduan akan hasrat bercinta tiba-tiba saja muncul hingga membuat raja melupakan Jayaprana. Dan Patih Arya Murka, sungguh sangat tersaingi oleh kepopuleran Jayaprana yang semenjak berhari-hari lalu menjadi perbincangan setiap orang. Rencana dibuat, persekongkolan dimulai.

Masih hangat bulan madu antara Jayaprana dan Layonsari, justru pada suatu malam Layonsari terbangun karena suatu mimpi buruk. Layonsari terbangun dan menangis, Jayaprana memeluknya dari depan dengan tangan mengelus rambut Layonsari.

Paginya, Jayaprana dipanggil untuk menghadap raja karena suatu hal yang mendesak. Sebuah kapal milik Wong Bajo dikabarkan telah memasuki perairan kerajaan. Namun di kalangan para patih kerajaan, Arya Sudharma sudah pernah mendengar isu busuk milik Arya Murka ini. Secara pribadi, Arya Sudharma menghadap raja dan menceritakan bahwa kabar tentang Wong Bajo itu hanyalah akal-akalan dari Arya Murka yang iri pada Jayaprana. Raja yang telah bersekongkol dengan Arya Murka hanya mampu tertawa geli dalam hatinya. Dengan segala kekuasaan, sang raja menahan Arya Sudharma dengan tuduhan pembangkangan dan pengkhianatan.

Jayaprana bersama Patih Sawunggaling dan 40 prajurit kerajaan bergerak menuju sebuah teluk bernama Teluk Terima. Dengan membawa sebuah surat pemberian raja, Patih Sawunggaling merasa sungguh merasa tidak nyaman sepanjang jalan. Namun tugas kerajaan, adalah wajib hukumnya untuk dijalani! Jayaprana pun melaksanakannya sekalipun sang istri, Layonsari, memohonnya untuk tidak pergi.

***

Teluk Terima, Desa Sumber Klampok, Gerogak

Kosong. Kosong. Kosong.

Di Teluk Terima, orang-orang beraktivitas seperti biasa. Isu kapal Wong Bajo yang dikatakan sang raja ternyata tidak ada sama sekali. Tidak mau perjalanan mereka sia-sia., akhirnya mereka memutuskan untuk sekedar beristirahat sejenak di bibir hutan. Sesuai dengan perintah raja, maka Patih Sawunggaling hanya boleh membuka surat yang dibawanya ketika sudah sampai pada Teluk Terima. Patih Sawunggaling yang begitu setia, jujur, dan disegani itu kini remuk hatinya berkeping-keping ketika membaca isi surat dari raja. Bukan sebuah surat biasa, melainkan sebuah perintah untuk membunuh Jayaprana!

Diajaknya Jayaprana menjauh dari perkemahan dan memasuki hutan lebih dalam. Sungguh tak kuasa ia membunuh Jayaprana, seorang anak pungut yang ia temukan belasan tahun lalu. Oh Tuhan, dosa apa yang dilakukan Jayaprana sehingga ia harus dibunuh?

Dalam kebisuan, Patih Sawunggaling menghunusan keris ke punggung Jayaprana. Dengan segala naluri dan kemampuannya, Jayaprana menghindar. Patih Sawunggaling terus menghujam Jayaprana dengan tusukan demi tusukan. Jayaprana menghindar dengan kebingungan. Burung-burung diam membisu. Matahari cemas bukan main.

Patih Sawunggaling jatuh dan berlutut. Ia menyerah. Wajahnya basah terkena hujan air mata yang sedari tad mengalir tak ada henti. Patih Sawunggaling sujud dihadapan Jayaprana dan memohon ampun atas perbuatannya. Menit-menit setelah itu waktu mereka habiskan hanya berdiam. Jayaprana sungguh hancur. Ia kembali mengingat belasan tahun lalu ketika ia dipungut oleh raja dan Patih Sawunggaling. "Mungkin sebaiknya aku mati saja waktu itu," dalam hati Jayaprana menangis.

"Sudahlah Patih, tidak ada yang salah. Semua bekerja sebagaimana mestinya. Jika memang raja menghendaki seperti itu, maka terjadilah. Semesta tidak pernah diam. Silahkan Patih akhiri ini," gemetar tubuh Patih Sawunggaling mendengar perkataan laki-laki yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri. "Patih, bolehkah saya menitip pesan untuk kekasih saya?"

Patih Sawunggaling hanya terdiam, namun matanya mengisyaratkan sesuatu.

"Tolong katakan pada Layonsari bahwa saya mati terbunuh dalam perang. Biarkan hanya Patih dan saya yang tau ini semua," kali ini Jayaprana yang berlutut sembari mengeluarkan keris dari sarung kecil di pinggangnya. "Hanya dengan ini Patih bisa membunuh saya."

Lolongan anjing hutan memberi tanda bahwa sesuatu telah terjadi dan akan menjadi sejarah. Wewangian darah Jayaprana mengalunkan aroma sendu. Angin tiba-tiba berhembus menusuk tulang. Patih Sawunggaling kembali ke perkemahan dengan segala luka yang tak akan pernah terobati.

Bekas api unggun hanyalah asap yang mengepul. Orang-orang di perkemahan tiba-tiba lenyap begitu saja. Yang tersisa hanyalah kayu-kayu yang disusun dan digunakan sebagai tempat duduk oleh para prajurit. Tak ada bekas darah. Tak ada bekas pertarungan. Lalu mengapa semuanya menghilang? Ah! Semesta memang tidak pernah diam.

Patih Sawunggaling pulang sendirian. Kadang ia berlari atau berjalan. Namun yang pasti ia sadar bahwa setiap gerak-geriknya ia sadar ada yang mengikutinya. Semak-semak ikut bergerak ketika Pating Sawunggaling berlari. Sampai di sebuah tanah lapang yang luas, Patih Sawunggaling berlutut dengan kedua tangan menyatu di depan dahinya dan berteriak memohon pengampunan kepada Tuhannya, kepada semesta, dan kepada Jayaprana. Angin kencang menyambar Patih Sawunggaling. Melenyapkannya hingga tidak bersisa sehelai pun dosa di tanah.

***

Kerajaan Wanekeling Kalianget

Made Metri terbangun dari tidurnya. Mimpi buruk melintas dalam tidurnya. Tentang Jayaprana, tentang Layonsari. Perasaannya tak pernah sekacau ini. Maka dengan segala kekuatannya, ia pergi ke rumah Jayaprana. Ditemuinya Layonsari hanya duduk terpaku dengan air mata yang bergelinangan. Menyatulah naluri keibuan mereka. Made Metri berjanji untuk membantu Layonsari dengan cara apapun. Ia bangkit, lalu pergi ke istana hendak meluapkan segala emosinya pada orang yang telah memungutnya.

Di tengah perjalanan, Made Metri melihat rombongan istana bergegas menuju kearah rumah Jayaprana. Menghindar dan bersembunyilah Made Metri pada semak dan pepohonan di tepi jalan. Dilihatnya jelas bahwa kedatangan raja adalah hendak melamar Layonsari. Made Metri merasa bersalah. Semua ini berawal dari kutukannya kepada Jayaprana. Maka larilah ia ke istana mencari Patih Arya Sudharma.

Patih dibebaskan, emosinya memuncak mendengar segala cerita dari kejahatan raja dari Made Metri. Abdi setia patih Arya Sudharma dipanggil, dikumpulkan untuk membuat sebuah rencana. Rombongan pasukan akhirnya langsung mengejar raja dan Patih Arya Murka. Perang sudah lebih dahulu teradi di banjar Sekar. Seluruh warga marah. Putri desa banjar Sekar telah terkulai dengan keris menancap di perutnya, darah kesetiaan mengucur deras demi cintanya pada Jayaprana.

Perang saudara terjadi. Orang-orang mulai mengangkat senjata dan mempertahankan kewibawaannya. Darah menyembur hampir di setiap jalan. Tak ada yang tersisa. Yang ada hanyalah mayat-mayat yang bertumpuk dengan segala macam kebencian dan kemarahan. Kerajaan Wanekeling Kalianget berlumuran darah.

***

Setelah bertapa memohon restu. Made Metri keluar dari pertapaannya. Tempat pertama yang ia kunjungi adalah rumah Jayaprana. Dengan gerobak dan kerbau, tubuh Layonsari dibawanya ke suatu tempat. Sepanjang perjalanan yang dilihat hanyalah bangkai manusia. Made Metri telah mencapai titik kebatinan paling tinggi. Tak ada lagi air mata yang tersisa untuk mengalir dari matanya. Hanya permintaan maaf yang ia ucapkan sepanjang jalan dalam batinnya.

Sesampainya pada sebuah hutan, ia turun dari gerobaknya dan mencari tubuh Jayaprana. Bau wewangian justru keluar dari tubuh Jayaprana yang tergeletak di samping sebuah pohon. Tubuh Jayaprana dan Laonsari dibalut Made Metri dengan kain putih. Tak henti-hentinya doa ia panjatkan di tengah hutan yang begitu sunyi. Ditaruhnya sepasang tubuh itu di atas sebuah batu besar. Mundur Made Metri ke belakang dan mulai mengganti pakaiannya. Walau secara adat dan agama dosa hukumnya jika bersembahyang dalam keadaan duka, namun Made Metri tetap memanjatkan segala kata. Hening. Hanya bibir Made Metri yang bergerak membaca doa.

Usai berdoa, Made Metri lenyap entah kemana. Kepergiannya menyisakan penyesalan yang begitu mendalam. Cinta Jayaprana dan Layonsari tetap abadi. Cinta mereka hidup beriringan dengan sepasang Jalak Bali yang bertengger di ranting pohon, berterbangan dengan angin yang menghembus dedaunan, dan bunga-bunga yang mulai bermekaran di hutan Teluk Terima desa Sumbre Klampok, Gerogak.


Arlingga Urak

Yogyakarta,
12 Desember 2016*


*)Tulisan ini tidak bermaksud merubah sejarah dalam cerita rakyat dari Bali Utara; Layonsari Jayaprana. Ini hanyalah arsip tugas kuliah dan hanya disadur dengan sumber penelitian yang kurang lengkap. Jika terjadi kesalahan alur dan tokoh dalam cerita, saya meminta maaf.

You May Also Like

0 komentar