Penjaga Candi

by - March 25, 2020



Kisah ini mengandung 60% pengalaman dan pengetahuan pribadi, dioplos dengan 15% cerita pemilik warung di Gereja Ayam Bukit Rhema, 15% cerita satpam Candi Borobudur, dan 10% khayalan.
Baik dibaca dengan camilan kacang atau kwaci, atau krupuk jika kacang atau kwaci tak tersedia.


Senja masih cemerlang di atas langit Borobudur. Yanto melihat jam tangan. Hampir pukul lima, waktunya turun, pikir Yanto sambil meliukkan tubuhnya dan menguap. Dikuceknya mata dan dilepasnya topi hitam yang sedari pagi melindungi kepalanya dari sengat dan sangit matahari. Reflek diciumnya bagian dalam topi. Hmmm…bau apak yang nikmat. Bau pria sejati pencari nafkah. Yanto tersenyum. Dibayangkannya mandi segar malam itu di rumah, dan lebih baik lagi kalau istrinya juga belum mandi. Ah, Welas memang selalu bikin kangen. Tiap pagi aku berangkat, belum lima meter dari rumah aku sudah kepingin pulang saja. Hehehe… Dasar manten anyar, cemooh Yanto pada dirinya sendiri.

Ia menyeringai, membayangkan malam itu ia mandi, dan istrinya bergabung. Tapi tak mungkin. Rumahnya cukup jauh di Parakan, Temanggung. Kasihan istriku kalau mandi pun harus menungguku pulang, Yanto geli. Lama-lama istrinya bisa rematik kalau mandi malam terus. Lagipula, sebelum pulang ke rumah, Yanto selalu menyempatkan diri mandi dulu di kamar mandi dekat pos satpam. Perjalanan ke Parakan butuh mata yang awas dan konsentrasi yang tinggi, apalagi kalau menjelang malam.

Di hari yang sama, minggu lalu, Yanto mengalami hari kerja yang cukup gila. Turis datang bagai bendungan jebol, menggenangi candi dari kaki hingga puncak. Yanto naik-turun bersama sepuluh rekannya mengawasi setiap tingkat candi, membantu para lansia meniti anak tangga yang cukup curam, dan menghardik turis yang hendak memanjat stupa dan berpose atraktif demi sebuah unggahan foto bertagar #saveourculture #BorobudurWorldHeritage #travelercantik. Yanto heran betul dengan kelakuan turis-turis jenis ini. Ha mbok difoto candinya saja kenapa, kalau memang menurutmu candinya bagus; tidak perlu ada kamunya, sampai naik-naik stupa segala, kritik Yanto tanpa suara. Lima tahun belakangan, turis macam begini makin banyak, bahkan mungkin lebih banyak daripada lumut candi. Yanto bergidik.

Sekitar jam 12 siang, nyaris ada yang baku hantam di dekat stupa induk. Antar turis lokal. Turis lokal yang lain saling berkerumun. Turis asing turut serta, siap mengabadikan perkelahian itu untuk sebuah unggahan video bertagar #problemsolving #wonderfulindonesia. Akar permasalahannya lagi-lagi tak jauh dari hobi unggah-mengunggah. Sepasang kekasih hendak berswafoto diantara dua stupa, dengan latar belakang stupa induk. Kamera sudah terpasang di tripod, penghitung mundur dijalankan, lalu ketika kamera mengambil foto, hasilnya tak seperti yang diharapkan. Orang-orang lalu-lalang di belakang mereka. Tak puas dengan hasil foto, pasangan yang perempuan meminta turis-turis lain untuk minggir. Ia mau latar belakang fotonya steril. Sayangnya, cara gadis itu meminta kurang elegan, terkesan seperti mengusir. Salah satu turis yang dihalau tersulut emosinya. Kebetulan turis ini pria berperawakan sangar, bertato dan berotot. Cocok untuk antagonis-antagonisan. Pria sangar ini melotot dan meloloskan sumpah-serapah dari mulutnya pada sepasang kekasih narsis itu. Namun, pasangan yang laki-laki tak gentar. Demi membela kekasihnya, dan karena merasa punya bekal ilmu silat yang cukup, ditantangnya pria bertato itu, setelah dengan penuh kasih sayang menyuruh pacarnya minggir. Biar Kakang selesaikan secara ksatria, Diajeng, katanya penuh percaya diri.

“Eh, sudah, sudah, sudah, mohon bubar, bubar, bubar!!!” Yanto dan dua rekannya menyeruak, menerobos lingkaran turis yang sudah siap dengan gawai masing-masing untuk merekam adegan laga, adu ilmu kanuragan di Candi Borobudur. Tentunya akan sangat epik. Namun kedatangan Yanto dan dua satpam lain membuyarkan semua ekpektasi mereka. Yanto mengelus dada waktu didengarnya seseorang mengeluh, “Yaaahhh… Ra sido deh.”

Menurutmu ini tempat apa? Yanto jengkel. Cagar budaya, atau arena adu ayam?

Usai ikut mendamaikan kedua pihak yang bertikai di pos satpam dengan makanan ringan, teh botol, dan wejangan kepala sekuriti disertai informasi ancaman pidana yang bisa dilayangkan apabila terjadi perkelahian (Pasal 184 KUHP), Yanto berjalan ke area merokok khusus satpam, di tempat khusus yang tidak boleh disebutkan di sini. Di tempat itu sudah menunggu dua kawannya yang tadi ikut melerai. Sebut saja mereka Tonggos dan Brengos, karena salah satu dari mereka punya deretan gigi depan yang offside  dan yang satunya lagi berkumis selebat Alas Purwo kebanggaan Banyuwangi.

YANTO  (kepada TONGGOS) “Rokokmu masih?”

TONGGOS  “Masih, mild tapi. Doyan po?

YANTO  (kepada BRENGOS) “Rokokmu?”

BRENGOS  Lintingan mau?”

YANTO  “Oke.”

(YANTO menerima kotak isi tembakau dan kertas rokok dari BRENGOS, menjumput tembakau dan cengkeh, menaruhnya di kertas rokok, melintingnya, dan menjepitkan lintingan itu di bibir. YANTO meminjam korek gasTONGGOS lalu dibakarnya lintingan itu. Dihembuskannya asap pertama tebal-tebal sambil mendongak, membentuk kumulonimbus mini di atas kepalanya.)

YANTO  (bermonolog, TONGGOS dan BRENGOS mendengarkan dengan khidmat) “Aku ki sakjane males melerai yang tadi mau kepruk-keprukan itu. Ha mbok sak njepate, sak modare sekalian ndak papa! Biar aja! Jengkel aku! Lagipula, pengunjung-pengunjung candi sekarang itu kok ya le narsis minta ampun. Teko candi, sing dijujug langsung stupa induk. Apa ya ndak mau keliling-keliling dulu, muteri tingkat-tingkat, nonton-nonton relief. Aku ki dudu wong Buddha, dan aku ndak paham itu sebenarnya relief-relief itu ceritanya apa. Tapi rak yo namanya berkunjung ke cagar budaya itu, harusnya menghargai to? Menghargai hasil karya para empu, para pemahat, pemikir jaman dulu. Relief-relief itu bikinnya susah, watu semono akehe, mbok tatah dhewe yo buntung tanganmu! Lha wong candinya itu tidak tiba-tiba dibangun, semalam langsung jadi koyo mbangun kastil neng game onlen kae. Bangunan sak hoha  kae ki dibangun untuk ibadat. Kudune yo pengunjung, apapun agamanya, bisa menghargai kesakralannya, ya to? Minimal rasah alay lah! Rasah ancik-ancik stupa opo nangkring neng pagar langkan, opo nglungguhi patung singa di undak-undakan! Nek meh fota-foto ya biasa wae! Sewajarnya, gantian sama pengunjung lain. Wong ya sekarang teknologinya sudah maju, fotonya bisa diedit. Orang-orang di belakang itu bisa dihilangin, opo diganti kucing po wedhus sisan, sak karepe. Susahnya apa?”

BRENGOS  “Jos.” (mengacungkan jempol, TONGGOS juga ikut mengacungkan jempol)

TONGGOS  (kepada YANTO) “Korekku To, Yanto, kok malah mbok kantongi ki kepie?”
     
Usai merokok, Yanto kembali naik ke halaman candi. Tiba-tiba, entah mengapa, ia merasa begitu letih. Di pelataran candi, ia mencari tempat untuk duduk. Ketemulah satu bangku panjang, di bawah pohon rindang. Di situ sudah ada pengunjung yang lebih dulu duduk, seorang laki-laki bertubuh subur dan berkacamata. Ia tampak khusyuk menatap candi yang masih ramai dikerumuni peziarah milenial.

Yanto melirik laki-laki di sampingnya ini. Sepertinya orang yang enak diajak bicara, pikir Yanto. Ia punya banyak kenalan serupa, bertubuh tambun dan berkacamata, dan mereka rata-rata adalah teman ngobrol yang baik. Contohnya: Mas Dul, pegawai kelurahan bagian administrasi; lalu Pak Yazir, tukang tambal ban truk di Secang, Magelang; kemudian ada Mas Ahmad, tukang kacamata keliling yang dalam kurun waktu tertentu masuk kampung-kampung, menawarkan dan menagih cicilan kacamata secara door to door. Pasti yang satu ini enak diajak ngobrol, batin Yanto.

YANTO  (menyapa) “Mas!”

LAKI-LAKI  (menoleh, menatap Yanto sejenak) “Nggih Mas? Ada apa?”

YANTO  “Sendirian Mas?”

LAKI-LAKI  “Iya Mas, lha wong saya ndak kepikiran mau kesini sebelumnya. Tiba-tiba aja kepingin. Kalau mau ngajak teman, apalagi ngajak cewek, kelamaan Mas.”

YANTO  “Hahahaha… Bener Mas. Kalo ndadak nunggu temen, malah ndak berangkat-berangkat nanti.”

LAKI-LAKI  “Lha iya Mas, hehehe… Apalagi ini saya pikniknya punya misi Mas.”

YANTO  (tertarik) “Misi? Misi apa Mas?”

(LAKI-LAKI itu menunjukkan sebuah buku berjudul “Sutasoma”, karya Mpu Tantular, terbitan Komunitas Bambu. YANTO tertarik, menerima buku itu dari LAKI-LAKI yang tanggap akan ketertarikannya.)

YANTO  “Sutasoma ini ndak sing bikin semboyan Bhineka Tunggal Ika itu to Mas?”

LAKI-LAKI  “Bener Mas. Lha itu misi saya kemari. Misi dadakan sih, hehehe…”

YANTO  (semakin penasaran) “Misinya apa to Mas? Hubungannya sama buku ini apa?”

LAKI-LAKI  (mencondongkan tubuh ke arah YANTO, air mukanya lebih serius) “Di candi ini Mas, ada rangkaian relief yang judulnya “Gandawyuha.” Itu kurang lebih begini Mas, menceritakan perjalanan spiritual seorang pangeran bernama Sudhana, yang mencari kebijaksanaan sejati. Nah, di relief itu diceritakan bahwa dia berjumpa dengan bangsawan, rakyat jelata, bahkan dengan Buddha sendiri. Ia menimba kebijaksanaan sedalam-dalam dan seluas-luasnya dari tokoh-tokoh itu. Namun, dari sekian banyak tokoh, ada satu yang menarik Mas. Ngertos mboten?”

YANTO  Sopo Mas? Soeharto? Jokowi?”

(Keduanya tertawa ngakak. LAKI-LAKI itu sadar kalau ia terlalu serius, sementara YANTO berhasil mencairkan suasana ruang kuliah dadakan dengan dagelan kere.)

LAKI-LAKI  “Hehehe… Iso-isone Mas. Yang saya maksud itu Mahadewa Mas. Tahu Mahadewa?”

YANTO  “Yang pernah disiarkan film India itu bukan?”

LAKI-LAKI  “Iya Mas, betul. Batara Siwa Mahadewa. Nah, ternyata di Borobudur ini, ada panel relief yang menceritakan perjumpaan Sudhana dengan Mahadewa, yang notabene dewa Hindu. Padahal ini candi Buddha. Rak yo luar biasa to Mas? Di negara-negara lain, bahkan di negara yang mayoritas Buddhis, ndak ada kisah “Gandawyuha” yang seperti ini, cuma di Indonesia thok. Piye, aneh to Mas? Hehehe… Lha itu misi saya Mas. Saya mau foto bait di buku ini yang ada Bhineka Tunggal Ika-nya di bawah relief itu. (membuka buku, dan memperlihatkan bait yang dimaksud) Ini Mas:

Rwāneka dhātu winuwus wara Buddha Wiśwa,
bhīneki rakwa ring apan kěna parwanosěn,
mangkāng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
bhīneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

(Konon Buddha dan Siwa adalah dua dzat yang berbeda,
namun tiadalah tampak perbedaannya,
lantaran kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah satu,
berbeda, namun tetap satu, tak ada kerancuan dalam kebenaran.)

YANTO  “Wooo… Ya ya ya… Paham Mas. Jadi, leluhur itu sudah punya cita-cita persatuan diatas keberagaman, gitu nggih?”

LAKI-LAKI  “Betul Mas. Makanya itu rak yo lucu nek bangsa kita sekarang ini isinya cuma sengit-sengitan satu sama lain, merasa kelompoknya, sukunya, agamanya paling benar. Lucu Mas! (melihat jam tangan) Wah, sudah mau Ngasar Mas, nanti selak sore. Tak naik ke candi dulu Mas, sampai ketemu lagi. (menjabat tangan) Namanya siapa njenengan Mas?”

YANTO  “Saya Yanto, Mas. Njenengan?”

LAKI-LAKI  “Saya Ag… (terdengar bunyi petir menyambar cukup keras, memekakkan telinga, menyamarkan jawaban LAKI-LAKI itu)”

YANTO  “Siap Mas, salam kenal! Sampai ketemu! Monggo, selak udan mas, itu tadi petirnya keras sekali.”

LAKI-LAKI  “Siap!” (berjalan ke arah candi, meninggakan Yanto)

                Laki-laki aneh, pikir Yanto. Datang ke candi, bawa buku, cari relief terus mau difoto bareng isi bukunya? Gusti Allah, iki dino opo to ya? Yanto tak habis pikir. Waktu merokok tadi ia lantang menyuarakan respek terhadap cagar budaya, dan kini ketika ia menjumpai sosok yang ideal untuk itu, dirasanya sosok barusan terlalu berlebihan. Sepaneng banget wong kae, batin Yanto. Mesti rung duwe bojo, pikirnya geli.

                Dipandangnya langit. Masih cerah, belum ada tanda-tanda hujan turun. Tapi tadi ada petir menyambar cukup keras. Ah, pertanda apa pula itu tadi? Yanto menerka-nerka. Biasanya kalau ada petir di cerah hari bolong, akan ada peristiwa besar di negeri ini. Yanto mengingat ucapan almarhum simbahnya. Waktu itu, simbahnya yang asli Jogja bercerita tentang saat meninggalnya Sultan Hamengku Buwono IX di Washington D.C., Amerika Serikat, pada tahun 1988. Meskipun beliau wafat di tempat yang jauh, banyak warga Jogja yang bersaksi mendengar bunyi petir menggelegar di siang hari bolong, di hari mangkatnya Sang Sultan. Padahal saat itu sudah masuk musim kemarau…

***

Pukul lima sore sudah lewat. Yanto masih duduk di undak-undakan Arupadhatu, area puncak Candi Borobudur tempat stupa induk berada, dikelilingi stupa-stupa kecil dalam formasi konsentrik tiga tingkat. Sendirian, ia memandangi senja yang makin merembang sambil mengingat-ingat hiruk-pikuk turis minggu lalu, dan membandingkannya dengan senyapnya pengunjung minggu ini. Yanto teringat sambaran petir di sore yang cerah itu, selepas ia berbincang dengan laki-laki yang membawa buku Sutasoma.

                Benar, ada peristiwa besar di negeri ini, pikir Yanto sambil meraba masker yang menggantung di kuping kirinya. Ia mengambil hand sanitizer dari saku celana, dan diusapkannya ke kedua telapak tangan. Ia sudah mendengar kabar kalau pihak pengelola kawasan wisata Candi Borobudur akan menutup sementara akses masuk candi untuk wisatawan, untuk menanggulangi risiko penularan virus mematikan yang menghebohkan seantero jagad. Yanto termenung. Ia seperti enggan meninggalkan candi itu, pulang ke rumah, bertemu dengan istrinya yang cantik dan melanjutkan proyek Yanto junior. Ada yang aneh denganku hari ini, pikirnya. Rasanya seperti aku mendapat pencerahan, tapi kok mampet ini. Tidak bisa langsung mak byaaarrr…terang benderaaanngg…

“Mikir apa Mas Yanto?”

Kaget, Yanto melihat sekeliling. Tidak ada orang. Suara siapa itu? Ah, mungkin aku sudah lapar dan halusinasi. Bakso enak iki, pikir Yanto sambil membayangkan semangkuk bakso dengan mata terpejam. Satu menit setelahnya, pencerahan itu muncullah.

(suara itu terdengar lagi, jauh di dasar batinnya.)

SUARA  “Mas Yanto, paham sekarang Bhineka Tunggal Ika ya Mas?”

YANTO  (bicara di alam batin) “Hampir paham, tolong jelaskan.”

SUARA  “Siap Mas. Njenengan satpam di candi ini, dan menyaksikan berbagai tingkah polah turis. Ada yang normal, ada yang nyebahi, nggatheli, nganeh-anehi dan segala macam. Saat ini, mereka semua bersatu Mas. Bersatu dalam satu keprihatinan.”

YANTO  “Bersatu dalam keprihatinan? Keprihatinan apa?”

SUARA  “Bersatu ora iso plesir, Mas! Karantina di rumah sendiri-sendiri, gara-gara virus janc*uk iku Mas! Mudheng?”

YANTO (penuh kelegaan) “Ooooooo……. (namun tiba-tiba heran) “Sik-sik, aku tercerahkan tapi kok receh  ngene iki yo pencerahannya?”

SUARA  "Wis to Mas, rasah mbok pikir banget-banget. Sana pulang, ditunggu istrimu. Jaga kesehatan Mas, hati-hati di jalan!”

Yanto berdiri, merentangkan tangan ke atas hingga terdengar suara tulang punggungnya gemeletuk. Ahh, muliiihhh…ujarnya. Sebelum menuruni undak-undakan yang mengarah ke kaki candi, Yanto berhenti sesaat, mengedarkan pandangan ke stupa-stupa di Arupadhatu dan menatap stupa induk untuk beberapa saat. Dengan mata batinnya, ia seperti bisa melihat Buddha di stupa induk itu menyeringai riang, dan tangan kanannya mengacungkan jempol pada Yanto.

“JOSS!!!”

Yanto tertawa geli pada penglihatan batinnya itu. Nek Buddha iso ra sepaneng, kudune aku yo rasah, pikirnya. Dengan langkah ringan, dituruninya undak-undakan dan ditatapnya hari depan dengan optimis.  


LAMPU REDUP

YANTO  Sik, sik, iki jan-jane prosa opo naskah drama sih??”


LAYAR TURUN.
SELESAI.

 

Karangwaru, 24 Maret 2020
Agathon H.

(penulis adalah penggemar berat candi, terutama Candi Borobudur.
Pernah menyelinap masuk Candi Borobudur tanpa bayar, setelah membeli buku di
bazaar buku Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2019, di Hotel Manohara.)



You May Also Like

1 komentar

  1. JOIN NOW !!!
    Dan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
    Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
    BURUAN DAFTAR!
    dewa-lotto.name
    dewa-lotto.org

    ReplyDelete