Mengenang Waktu — 20 Tahun TSD

by - April 23, 2019





#1
Proses meninggalkan Teater Seriboe Djendela (TSD) terasa jauh lebih berat dan sulit ketimbang proses awal aku mengenal dan memutuskan untuk bergabung dengan TSD. Sekian tahun yang lalu, tepatnya di tahun 2005, aku bergabung dengan TSD.

Keputusan itu, saat itu, lebih sebagai sesuatu yang tidak benar-benar ingin sepenuhnya aku jalani; semacam iseng yang akan aku lanjutkan bila TSD itu menarik dan sebaliknya, aku akan pergi begitu saja bila TSD tidak menyenangkan.

Ada banyak hal yang susah diingat, tapi setidaknya ada hal yang tidak bisa hilang dari ingatan; yang pertama-tama kutemui di TSD justru bukan hal yang menarik dan menyenangkan, dan anehnya aku tetap bertahan.

Berteater ternyata bukan bersenang-senang sebagaimana dulu aku bersenang-senang dalam sebuah grup band (kalau boleh dibilang sebagai suatu kelompok berkesenian). Prosesnya jauh berbeda. Di TSD, ternyata aku malah harus banyak melakukan pekerjaan yang menyita waktu, tenaga dan pikiran. Tentu sangat melelahkan.

Dan anehnya, aku tetap bertahan. Semakin hari semakin banyak saja beban yang harus kukerjakan. Ada perasaan malu jika aku pergi meninggalkan teman-temanku di TSD. Mungkin itu yang membuatku bertahan meski kenyataannya, teman-teman seangkatanku, seniorku, atau adik angkatanku satu persatu meninggalkan TSD.

Hingga kemudian, aku tetap berada di TSD selama kurang lebih 10 tahun sejak aku kuliah di S1 hingga selesai pendidikan pasca sarjana. Kalau saja aku belum menikah dan punya anak, mungkin hari ini aku masih berada di TSD. Entah untuk alasan apa…

Yang pasti, di TSD, di Jogja, di lingkungan para seniman, di dunia wacana kesenian dan wacana lain yang berkenaan dengan kesenian, aku mengalami banyak hal yang kusebut sebagai rasa hidup; energi yang terus membuatku bergerak untuk melakukan sesuatu, entah kerja kreatif atau selain itu.

Namun hari ini, tepat ketika aku membuat tulisan ini, ada berbagai perasaan yang entahlah; mengingat masa lalu sebagai seniman dan menghadapi kenyataan sehari-hari sebagai seorang suami, seorang ayah, seseorang yang kini harus menimbang untung dan rugi agar tetap bisa survive dalam berkeluarga.

Hari ini terasa sangat lain dibanding dengan masa-masa ketika berada di TSD. Aku masih ingat dulu di TSD, ketika mengajar keaktoran, aku sering mengatakan bahwa aktor tidak hanya akting di panggung, namun juga di kehidupan sehari-hari.

Saat ini aku sungguh-sungguh menguji pernyataan tersebut; apakah aku masih seorang aktor? Apakah aku masih seorang sutradara? Apakah aku masih seorang seniman? Apa pentingnya aku tahu aku adalah siapa atau apa?


....




#2
TSD bagiku adalah rumah, baik pada waktu itu hingga saat ini ketika aku sudah tak lagi di sana, dan mungkin kini aku akan dianggap sebagai tamu ketika aku berkunjung ke sana, seperti halnya beberapa waktu yang lalu ketika aku menyempatkan diri untuk datang menonton latihan (rasanya senang sekaligus aneh).

TSD adalah rumah bagiku, warisan dari para seniorku, yang kurawat bersama teman-teman dari berbagai angkatan hingga kemudian harus kuwariskan kepada yang saat ini tinggal di sana. TSD bukan soal bangunan fisik, dua buah ruang di lantai dua geudng UKM yang kadang-kadang saja terlihat rapi, namun lebih dari itu TSD adalah—entah bagaimana aku menyebutnyatapi yang jelas di sana ada manusia, ada keluarga besar, ada kebersamaan, ada karya, ada pikiran, perasaan, impian, perjuangan, … dan cinta.

#3
Tentu selain perasaan dan pikiran yang telah kutuliskan di atas, aku juga ingin membagikan sesuatu (apabila tulisan ini bisa dinamai sebagai kado sederhana untuk ulang tahun TSD yang ke-20) yang kudapat selama berproses di TSD. Namun aku belum benar-benar tahu apa yang ingin aku bagikan. Tidak mungkin aku membagikan semua pengalamanku selama sekian tahun berproses di TSD.

Barangkali, aku akan berbagi dengan cara mengingat sebuah proses yang paling aku senangi. Tentu banyak proses berharga seperti proses-proses panjang terakhirku di sana sebagai sutradara seperti proses penciptaan pertunjukan Lapak Tilas dan Jaga Ndaru (keduanya adalah proses teater dengan gaya realis meski hasilnya tak sepenuhnya demikian). Namun ada satu proses yang bagiku terasa menyenangkan, yakni proses penciptaan pertunjukan pantomime Ke Mana Waktu, Aku Ingin Bermain!


Aku menyenangi proses tersebut karena beberapa sebab, yakni:
  1. Dalam sebuah proses kreatif semacam itu (pantomime….ee…apakah itu pantomim?), aku memiliki kebebasan yang lebih untuk berimajinasi daripada proses lain yang kujalani (misalnya proses pertunjukan teater realis).
  2. Aku lebih menikmati bahasa tubuh ketimbang bahasa lisan (tentu ini hanya semata-mata selera saja). 
  3. Proses dalam penciptaan pertunjukan tersebut bisa lebih fokus pada latihan tubuh dan imajinasi, tanpa harus latihan vokal dan penokohan yang seringkali menjadi momok bagi proses-proses yang pernah aku jalani. Sehingga, proses semacam ini (pantomim) bagiku tak membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk melahirkan sebuah karya baru, kecuali aktornya malas berolah raga. 
  4. Buatku proses pertunjukan berbasis tubuh seperti pantomim dan lainnya adalah suatu cara untuk sejenak lepas dari keseharian. Kenapa demikian? Sederhananya, di proses semacam ini ketika aku menjadi aktor, misalnya, aku tidak perlu berbicara pakai mulut. Sementara, dalam keseharian, aku mengandalkan mulut sebagai media ekspresi bahasa utama, yakni bahasa lisan dan verbal. Jadi, dunia imajiner yang kuwujudkan dalam wujud simbolik terasa lebih baru, dengan bentuk-bentuk atau kemungkinan-kemungkinan untuk menciptakan bahasa baru dan tentunya adalah membuat bahasa tersebut menarik untuk dilihat dan lebih jauh lagi terasa lebih lebar dimensi maknanya.
  5. Apakah itu penting—soal penanda baru/bahasa baru, kelenturan makna dan lain sebagainya? Bagiku sih penting karena di sinilah semestinya estetika/seni bisa berfungsi sebagai hal baru yang menyegarkan. Tentu aku tidak ingin mengesampingkan kenyataan bahwa pertunjukan berbasis naskah (pelisanan) juga merupakan produk baru. Tentu saja.
  6. Sejauh mana aku bisa mencipakan kebaruan? Entahlah, aku sih mengukurnya dari ketidakwajaran tubuh ketika berekspresi. Misalnya, melebihkan proyeksi gerak atau mengurangi proyeksi gerak dari gerakan wajar dalam keseharian.
  7. Bukankah pertunjukan pantomime ada pakemnya (sehingga bahasa-bahasa yang dimunculkan tak sepenuhnya baru, melainkan bahasa warisan dari pertunjukan pantomime sebelumnya yang menjadi refrensi utama)? Ya memang ada, seperti minimnya material untuk membuat setting panggung dan propertinya karena tantangannya adalah menghadirkan benda yang tidak ada melalui gerakan tubuh. Contoh, membuka pintu tanpa ada pintu. Banyak hal yang imajiner, itu salah satu pakem atau ciri khas dari pantomim.
  8. Kebaruan dalam menciptakan bahasa pertunjukan pantomime terletak pada kreativitas aktornya. Ya sama saja sih kayak melisankan naskah, butuh aktor yang kreatif agar naskah yang diucapkan terdengar enak dan pas. Kalau aktornya nggak kreatif ya ujung-ujungnya cuma niru yang sudah-sudah, meski peniruan ini tak sepenuhnya sama dan bisa dianggap sebagai hal baru. 
Delapan poin tersebut adalah beberapa alasan kenapa aku senang proses pertunjukan berbasis tubuh. Khususnya pada proses Ke Mana Waktu, Aku Ingin Bermain!, proses itu adalah proses penyutradaraanku yang pertama di TSD yang dipentaskan di luar kampus dan bertiket. Kalau tidak salah tiketnya waktu itu 4900 rupiah apa ya…murah sih karena pentas itu juga dalam rangka memperingati ulang tahun TSD yang ke…berapa ya???

Bukankah di TSD sebelumnya aku juga telah beberapa kali membuat pertunjukan berbasis tubuh? Lalu kenapa proses dan pentas Ke Mana Waktu, Aku Ingin Bermain! menjadi spesial? Tentu ini pertanyaan yang kutujukan pada diriku sendiri.

Bagiku, dalam rangkaian cerita pada pertunjukan tersebut, ada hal yang dilematis. Tema yang ingin kuhadirkan dalam pertunjukan tersebut adalah tentang waktu, dan tema ini terinspirasi dari novel yang berjudul Momo karya Michael Ende. Baik dalam novel atau pementasan tersebut, yang ingin kutebalkan adalah persoalan hilangnya waktu dalam kehidupan.

Tentu saja, waktu tidak pernah hilang sebab waktu itu abadi. Namun waktu bisa dihitung dan karena hitungan waktu tersebut seolah ada yang namanya nominal waktu layaknya uang yang bisa dikumpulkan atau dihabiskan (yang ini sangat terasa kental sebagai problem cerita dalam novel Momo).


Semakin seseorang beranjak usianya, seolah waktu semakin sempit. Memang demikian, karena dalam hal ini waktu menjadi batasan dalam kehidupan; batas usia. Semakin dewasa maka semakin berkurang jatah waktunya untuk hidup.

Namun yang ingin kuperdalam lagi sebagai pertunjukan adalah tentang semakin bertambahnya usia seseorang, maka waktunya untuk bermain semakin sedikit. Ini adalah problem kultural. Padahal ya waktu bebas digunakan, entah untuk bersenang-senang atau untuk hal-hal yang produktif (dimaknai sebagai bekerja).

Masa kanak-kanak adalah masa ketika waktu sepenuhnya dipergunakan untuk bermain, bereksplorasi, dan bersenang-senang mengenali dunia di sekitarnya. Sebaliknya, masa dewasa adalah waktunya untuk produktif; berproduksi atau menghasilkan sesuatu untuk hidup sebab di masa ini adalah waktunya untuk menghidupi, bukan dihidupi layaknya anak-anak yang kalau mau apa tinggal minta saja.

Pertunjukan Ke Mana Waktu, Aku Ingin Bermain!,menghadirkan eksplorasi kegiatan manusia sejak masih kanak-kanak hingga usia kerja. Pentas tersebut tidak menebalkan pesan tertentu, namun yang ingin dihadirkan rasa kangen pada masa lalu dengan tujuan agar kami sendiri sebagai kreator pada waktu itu, juga penonton, mempertanyakan kembali soal pilihan kedepan sebagai cara untuk menyadari kenyataan kultural yang tak terhindarkan dan pasti akan dijalani.

Membaca masa lalu, mengenang masa lalu, adalah momen-momen bagi kita untuk menikmati penyesalan dengan cara mengandaikan; andai waktu itu…. Dalam momen tersebut, setidaknya ada dua hal yang akan terjadi; frustasi atau sebaliknya, yakni memiliki semangat untuk menempuh ketidaktahuan yang akan terjadi di masa depan.

Di titik ini, saat ini, seusai aku menuliskan paragraf-paragraf tersebut, aku sedang mengalami fase klimaks dalam kehidupan yang pernah aku hadirkan pada adegan terakhir dalam pertunjukan; momen-momen ketika aku tidak bisa bergerak luwes sebab saat ini aku merasa seolah sudah tidak ada waktu lagi untuk bermain sebagaimana ketika dulu aku belum berkeluarga, belum memiliki tanggungan yang serius seperti sekarang. Ya, setidaknya aku benar-benar rindu untuk berteater dan entah kapan aku bisa mengalaminya lagi.

Tentu mengingat hari-hari berteater dulu itu, baik yang menyenangkan atau yang pahit, semua terasa menyenangkan. Aku seperti sedang menonton adegan pertama dalam pertunjukan Ke Mana Waktu, Aku Ingin Bermain!

Selamat Ulang Tahun yang ke 20 ya teman-teman!
Bila yang kita alami saat ini seolah seperti adegan terakhir pada pertunjukan Ke Mana Waktu, Aku Ingin Bermain!, percayalah bahwa kita sebenarnya sedang berada dalam adegan pertama, dan seterusnya akan demikian.

Salam Rindu,
Doni Agung Setiawan






You May Also Like

3 komentar

  1. Mbah Doglo...

    Ta pikir aku aja yang kangen ama TSD dan segala prosesnya
    Ternyata salah ya... hehehehe

    ReplyDelete
  2. JOIN NOW !!!
    Dan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
    Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
    BURUAN DAFTAR!
    dewa-lotto.name
    dewa-lotto.com

    ReplyDelete