KEMANA WAKTU, AKU INGIN BERMAIN TEATER LAGI!!! — 20 Tahun TSD

by - May 06, 2019



Sepuluh tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2009, aku mengendarai sepedaku dari Jalan Kaliurang km.07 ke Mrican, ke Realino, dengan satu tujuan pasti, bergabung dengan Teater Seriboe Djendela. Nama “Teater Seriboe Djendela” bukan merupakan nama yang asing bagiku. Dahulu, ketika aku masih SMA, masih bergabung dengan Ekstrakurikuler Teater Biroe SMA PL St. Yosef Surakarta, aku pernah menyaksikan penampilan Teater Seriboe Djendela di aula sekolah. Pada waktu itu Teater Biroe mengadakan pementasan musikalisasi puisi. Sebagai bintang tamu, hadir kelompok teater mahasiswa dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Teater Seriboe Djendela.

Saat itu Teater Seriboe Djendela menampilkan teaterikalisasi puisi. Sebagai seorang remaja yang masih duduk di bangku SMA dan sekaligus menggemari seni teater, terus terang aku sangat terpesona dengan penampilan Teater Seriboe Djendela. Sayangnya, aku tidak ingat nama-nama yang tampil saat itu. Mungkin Mas Sugeng? Entahlah... Saat itu sekitar tahun 2003-2004, aku masih kelas 1 SMA (sekarang memakai istilah “kelas X”). Siapa saja personil Teater Seriboe Djendela pada tahun itu, aku tidak tahu sama sekali. Namun, yang jelas, kehadiran mereka membuatku bercita-cita untuk bisa kuliah di Sanata Dharma, mengambil Sastra Indonesia, dan bergabung dengan kelompok teater itu.

Sayang... perjalanan hidupku membawaku ke tempat yang lain. Memang aku akan sampai pada Teater Seriboe Djendela, tetapi tidak dengan cara yang langsung. Aku harus berputar sangat jauh. Pada tahun 2006 aku lulus SMA. Aku memutuskan untuk melarikan diri ke Salatiga, masuk ke Seminari Berthinianum, karena mama tidak merestuiku untuk melanjutkan kuliah di Sastra Indonesia, Sanata Dharma. Saat itu aku berpikir, aku akan jadi romo saja, seperti Romo Mangun dan Romo Sindhunata, yang walaupun seorang romo, masih bisa bersastra. Toh para calon pastur itu disekolahkan di Sanata Dharma juga, ‘kan?

Pada tahun 2008 akhirnya sebagai frater aku pindah ke Jogja, ke Biara Nazareth. Aku kuliah di Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma. Sesuai prediksi awal. Akan tetapi, celakanya... kehidupan di biara membuatku tidak bisa bergabung dengan kelompok teater manapun! Pada pk. 20.00 kami sudah Completorium, yang berarti bahwa hari kami sudah selesai. Masuk kamar. Belajar. Atau tidur. Sial! Aku harus bermain teater, jerit jiwaku pada saat itu. Drama-drama ala Opera van Java yang beberapa kali kami mainkan di komunitas tidak berhasil memuaskan dahagaku. Akhirnya, aku memutuskan untuk meninggalkan hidup membiara. Aku harus bermain teater.

Senin, 20 April 2009, adalah hari pertama aku kembali menjadi seorang awam. Aku pindah ke kos-kosan yang letaknya ada di belakang tembok biara. Aku memang masih meneruskan kuliah di Fakultas Teologi, mendalami pelajaran-pelajaran filsafat. Toh nanti kalau lulus dari fakultas ini, aku akan mendapatkan gelar “Sarjana Sastra”, pikirku. Tidak perlu sampai pindah fakultas ke Sastra Indonesia, ‘kan, untuk sekadar mendapatkan gelar “S.S.”? Namun, tetap ada hal yang harus aku tuntaskan: berteater bersama Teater Seriboe Djendela!!!


Sore itu, para anggota Teater Seriboe Djendela tengah berkumpul di kantin Realino. Mereka sedang membicarakan rencana pementasan mereka pada bulan Mei di tahun 2009 itu: Kemana Waktu, Aku Ingin Bermain. Aku masih ingat dengan jelas, Tije sedang mempresentasikan draft pamflet yang akan dipakai untuk mempromosikan pementasan itu. Aku juga masih ingat dengan jelas Mas Doni request kepada Tije untuk menggunakan warna-warna cerah, sebab hitam bagi teater itu adalah mainstream. TSD perlu warna cerah pada posternya untuk mencuri fokus di tengah-tengah poster-poster acara lain. Saat itu belum ada whatsapp, sehingga menempel poster pada titik-titik tertentu masih menjadi hal yang wajib.

Rapat itu mendadak hening, ketika aku tiba-tiba hadir di tengah mereka, mengutarakan keinginanku untuk bergabung dengan Teater Seriboe Djendela. Seperti yang kita ketahui bersama, biasanya anggota baru TSD akan bergabung beberapa saat setelah Insadha, pada bulan-bulan Agustus-Oktober, dan wajib mengikuti program PAB (Penerimaan Anggota Baru). Mungkin satu-satunya program di TSD yang tidak pernah aku ikuti sebagai peserta ya adalah PAB itu.

Mas Doni sore hari itu mengizinkanku untuk ikut latihan, setidaknya sampai sesi pemanasan. Aku mengikuti mereka ke BAA lantai satu.

Akhirnya... aku latihan teater kembali!

Saat itu materi yang diberikan Mas Doni adalah pantomime, sesuatu yang baru bagiku. Kemana Waktu, Aku Ingin Bermain memang akan menjadi pertunjukan pantomime. Ada Ley, Helga, Egy Nggelong, Via Yuristavia, Om Fred, dan Ardi sebagai aktor. Ada Winda dan Agathon di bagian musik. Ada Tine dan Arvita Dian di bagian setting. Aku ikut bersama para aktor melakukan pemanasan yang khas TSD itu.

Kemudian, sebagai pemanasan, para aktor diberi waktu untuk melakukan adegan spontanitas pantomime. Sebuah kehormatan, Mas Doni juga mempersilakanku untuk melakukan spontanitas itu. Hingga pada akhirnya, aku diizinkan bergabung dengan Teater Seriboe Djendela. Untuk pementasan Kemana Waktu, Aku Ingin Bermain, aku ditugasi membantu Tine dan Arvita Dian di bagian setting. Seumur hidup berteater, ya hanya pada pementasan inilah pertama dan terakhir kalinya aku menjadi kru setting. Takkan pernah kulupakan momen-momen pertamaku bersama Teater Seriboe Djendela.


Kemana waktu, aku ingin bermain teater lagi!!!

Sejak saat itu, aku berkembang bersama Teater Seriboe Djendela. Di dunia teater, memang aku lahir di Teater Biroe, Solo, tetapi aku bisa berkata bahwa aku tumbuh dewasa di Jogja bersama Teater Seriboe Djendela. Aku belajar menulis naskah ya di TSD. Aku belajar menyutradarai ya di TSD. Aku mendalami sekaligus melepaskan basis realismeku ya dari TSD. Aku mendapatkan laboratorium untuk mencoba surealisme ya di TSD. Aku mengenal teaterawan-teaterawan di Jogja ya dari TSD. Aku bermain bersama teaterawan-teaterawan dari berbagai penjuru Jogja ya berangkat dari TSD. Aku mendapatkan kesempatan bermain di depan kamera, ya dari TSD.

Hingga akhirnya aku dipercaya untuk melatih di beberapa teater lain di Jogja ya karena aku adalah seorang teaterawan dari Seriboe Djendela. Kualitas teaterawan Seriboe Djendela, dengan berani kukatakan, sangat oke, bisa bersaing, dan diakui. Sebab, Teater Seriboe Djendela adalah rumah sekaligus laboratorium. Pada satu-dua kesempatan, beberapa anggotanya akan pergi keluar berkunjung ke teater lain—Teater Garasi atau Forum Aktor, misalnya—untuk ngangsu kawruh, untuk belajar, dan kemudian pada saatnya para anggota yang pergi keluar itu pulang kembali ke rumah Seriboe Djendela, membawa oleh-oleh ilmu teater, lalu membagikan ilmu itu kepada teman-teman lain di TSD, sembari mengembangkannya dalam laboratorium Seriboe Djendela.

Hasilnya? Ada Bangau Putih, ada Suzuki, ada butoh, ada pantomime, ada realisme, ada realisme-simbolis, ada surealisme, ada absurd, dan bahkan ada ketoprak. Aku tidak pernah bisa menjawab kalau ada yang bertanya bahwa TSD itu teater beraliran apa, sebab teaterawan-teaterawan Seriboe Djendela selalu mencoba mempelajari hal yang baru, mendalaminya hingga terwujudlah sebuah pementasan.


Pada satu pementasan, TSD akan menjadi kelompok pantomime. Pada pementasan yang lain, TSD akan menjadi semacam kelompok tari, yang bergerak berdasarkan respon bebas terhadap lagu. Kemudian pada pementasan yang lain TSD akan menjadi kelompok teater drama realis. Lalu pada pementasan selanjutnya, TSD berubah menjadi kelompok ketoprak yang memainkan naskah lakon berbahasa Jawa bergaya khas teater tradisi (ketoprak). Itulah asyiknya menjadi teaterawan di Seriboe Djendela ... dinamis ... sebagaimana kata Sartre, “L’etre pour soi.” Perkara nanti setelah lulus kuliah, kita akan lanjut jadi seniman atau jadi karyawan ... itu pertanyaan yang lain.

Teater Seriboe Djendela tidak bisa lepas dari sebuah ruangan yang disebut Senthong. Senthong ibarat kos-kosan kedua. Senthong akan menjadi destinasi para anggota TSD di saat jeda kuliah, untuk sekadar nunut wifi, laptop-an mengerjakan tugas, nge-game, makan siang, atau malah tidur siang. Kosku di Jalan Kaliurang km.7,5. Kampusku di Kampus IV Sanata Dharma, di Jakal km.7. Sementara Senthong ada di Jalan Afandi Gejayan! Kurang lebih 6 kilometer. Hampir setiap hari aku mengayuh sepedaku mengarungi Jakal, Ring-Road Utara, Senthong... pergi-pulang. Istirahat dan tidur di Senthong akan menjadi sangat masuk akal, bukan?


Tidak hanya tidur di Senthong, aku bahkan nge-game juga di sana. Masih aku ingat saat-saat itu, saat Senthong menjadi game-center sebelum mulai latihan teater. Saat itu kami bermain Guitar Hero. Disambungkan ke soundsystem, alamak ... headbang kami semua! Juga kuingat game MMORPG yang kami mainkan bersama saat itu, Gods War Online. Ada beberapa yang memainkannya. Yang aku ingat ya aku sendiri, Gedhek, Eko, dan Tola. Saat itu kami tengah menyiapkan pementasan Quatro Das Crianças Mostra.

Setelah selesai latihan, kami mewajibkan diri untuk makan malam bersama. Namanya juga anak kos, jadi ya... makan malamnya ya di burjo. Egy Nggelong yang waktu itu memperkenalkan burjo Cikeyeup (CKYP) di gang Narada itu. Pada saat makan malam bersama di CKYP itulah kami membicarakan pementasan kami. Kurang lebih pk.23 kami akan membubarkan diri untuk pulang ke tempat kami masing-masing. Aku bergegas pulang ke kos mengayuh sepeda mendaki Jakal. Di kos-kosan kemudian aku login ke server Gods War Online. Di sana aku kembali bertemu Gedhek, Eko, dan Tola in-game. Kami bermain bersama... sekaligus melanjutkan pembicaraan kami tentang persiapan pementasan tersebut. Baik di dunia nyata maupun di dunia fantasi game kami tetap ngomongin teater!!!

Beberapa tahun kemudian, lebih tepatnya di akhir tahun 2018-awal 2019 kemarin, aku whatsapp-an dengan Mas Doni, membicarakan benang merah antara bermain teater dengan bermain game. Tesis Mas Doni adalah tentang aktor yang bermain. Sementara tesisku adalah tentang player yang bermain game. Bahasa Inggris dari lakon-sandiwara adalah ‘play’. Kata ‘play’ juga bermakna ‘bermain’. Aktor dan player sama-sama to play ... sama-sama memainkan karakter/character. Aktor dan player sama-sama membutuhkan imajinasi. Aktor dan player sama-sama menjalani plot cerita. Hanya, bedanya... aktor hanya membutuhkan kebertubuhannya, sementara player membutuhkan konsol sebagai ekstensi kebertubuhannya.

Terlepas dari itu semua, aku hanya ingin mengatakan bahwa, walaupun kami sudah sama-sama lulus dari Sanata Dharma—bahkan lulus dua kali dari Sanata Dharma—dan Mas Doni ada di Tulungagung sementara aku ada di Surakarta, oleh karena Teater Seriboe Djendela, kami ... kita semua ... masih memiliki ikatan batin, masih terkoneksi dengan benang merah yang sama.

Dan ... bisa jadi ... suatu saat nanti, ketika tiba waktu, kita akan bermain ... teater ... bersama ... lagi!

SELAMAT ULANG TAHUN YANG KEDUAPULUH, SERIBOE DJENDELA.

Surakarta, 24 April 2019
Padmo Adi (@KalongGedhe)



You May Also Like

2 komentar

  1. JOIN NOW !!!
    Dan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
    Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
    BURUAN DAFTAR!
    dewa-lotto.name
    dewa-lotto.com

    ReplyDelete
  2. Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
    Sistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
    Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
    Link Alternatif :
    arena-domino.club
    arena-domino.vip
    100% Memuaskan ^-^

    ReplyDelete