Agathon Hutama, Menjadi Batu Karang di Teater Seriboe Djendela
DI tengah datang dan perginya anggota unit kegiatan mahasiswa Teater Seriboe Djendela setiap tahunnya, Agathon Hutama (30) memutuskan untuk tetap menjadi batu karang; batu pijakan bagi anggota baru dan lama teater kampus. Agathon yakin teater kampus dapat memanusiakan manusia.
Menaiki tangga sebelah utara Student Center Universitas Sanata Dharma, siapa saja akan disambut oleh papan kecil bertuliskan “Senthong” di bagian atasnya. Sebuah nama yang dipakai oleh unit kegiatan mahasiswa Teater Seriboe Djendela (TSD) untuk menamai ruang sekretariat mereka. Di dinding bagian luar, nampak poster-poster hasil pementasan terpasang di sisi-sisinya.
Beberapa orang duduk di kursi kayu dan sisanya memenuhi anak tangga sembari saling memijat usai berlatih. Seseorang berpostur besar, mengenakan jaket gunung, dan berkacamata duduk di sebuah ban mobil bekas yang disusun dengan papan kayu menyerupai sebuah kursi, adalah Agathon Hutama. Seorang pembina teater kampus, kawan diskusi, dan selalu bisa menjadi figur yang menarik bagi siapa saja.
“Halo Bung, dari mana?” Kalimat pertama yang terlempar dari pria yang kerap dipanggil Pak De oleh kawan-kawannya. Ia selalu menjadi penantian bagi siapa saja yang ingin berbincang tentang teater, budaya, atau sekadar curhat masalah percintaan.
Sebagai salah satu dari beberapa orang yang masih merawat sejarah dan kenangan dalam TSD, ketika melihat anggota baru dan lama, Agathon sadar bahwa terkadang teater kampus kerap menjadi semacam tempat singgah dan belum dapat menjadi tempat tinggal. Orang datang dan pergi, dengan atau tanpa kesan, berkontribusi atau tidak. Beberapa menjadi orang teater, sisanya mencari peruntungan di luar dunia seni.
“Saya belum layak dikatakan sebagai orang teater. Kalau orang yang suka teater, iya. Karena saya belum bisa memberikan sumbangsih atau mengembangkan teater secara serius,” ungkapnya kepada anggota-anggota baru yang sedang mencoba mencari tempat singgah bernama teater. Sebagai pembina teater kampus, Agathon menjelaskan bahwa TSD pada dasarnya adalah sebuah tempat berproses yang tidak selalu dapat mewadahi kegelisahan dan gagasan yang selalu berkembang.
Melihat perkembangan seni teater di Yogyakarta yang masih sangat dinamis dan belum menunjukkan tanda-tanda mengendur, tak terkecuali teater kampus, sepertinya TSD akan selalu berubah dan berciri sesuai perkembangan zaman. Namun yang menjadi kekhawatiran adalah ketika TSD tidak bisa menjadi lahan berproses yang menyenangkan.
Agathon mengakui bahwa TSD memiliki beragam fasilitas dalam bentuk inventaris benda yang dapat digunakan untuk menambah pengetahuan dan merangsang kreativitas, namun yang tidak kalah penting adalah gagasan serta kerinduan berproses yang mewujud pada sebuah karya.
“Ini sebuah analogi tentang berproses. Ada pihak yang sudah ‘memasak’ bahan-bahan baku menjadi bahan setengah jadi, dan yang lain mematangkannya. Saya rasa itu yang dapat dilakukan oleh TSD saat ini, agar proses kreatif tidak gersang,” tambah pria yang bekerja sebagai sales di salah satu perusahaan asuransi di Yogyakarta.
Berusaha mencerna perkataan Agathon, saya mencoba untuk sedikit berkhayal apakah seorang pelaku teater bisa atau pernah mengalami suatu kejenuhan dalam berproses. Apakah penyajian yang tidak bervariatif dari seniman atau komunitas teater justru merupakan gejala dari kejenuhan tersebut?
Agathon sepakat bahwa kejenuhan yang muncul dalam berteater bukan hanya dilihat dari vakumnya para seniman atau kelompok teater, namun bisa juga dilihat pada sajian proses kreatif mereka yang kurang variatif. Orang yang berkesenian tentu membutuhkan waktu untuk menarik diri dan tidak memikirkan tentang kesenian. Kalau memaksakan diri, tentu yang muncul adalah perasaan tidak enak dan itu tidak sehat untuk proses.
“Mungkin saya terkesan goblok kalau menjawab seperti ini: jangan berprofesi jadi seniman kalau tidak ingin jenuh berproses. Kalau seni itu membuatmu pusing, bukan membebaskanmu, maka ada yang salah,” pungkas Agathon sembari tersenyum.
Teater dan Keseharian
Teater itu apa? Adalah pertanyaan yang paling sering didengar Agathon ketika bertemu anggota baru. Bahkan beberapa anggota lama juga masih membutuhkan jawaban yang memuaskan dari pertanyaan tersebut. Secara umum, seni teater adalah salah satu istilah lain dari drama.
Bagi Agathon, seni bukan sesuatu yang eksklusif dan eksotis. Seni adalah metode yang dapat dipraktikkan dan dikembangkan, sesuai kebutuhan praktisinya. Demikian pula dengan seni peran.
“Adanya TSD di Universitas Sanata Dharma memiliki fungsi untuk mengenalkan seni peran sebagai sebuah metode dan disiplin yang tak hanya berguna di panggung, namun juga di luar panggung,” ungkapnya.
Dalam dunia teater, sutradara dan aktor selalu menjadi bahan yang menarik untuk digali. Agathon mengatakan bahwa seorang aktor yang baik belum tentu bisa menyutradarai dengan baik, dan sebaliknya. Penyutradaraan memiliki banyak aspek, keaktoran hanyalah salah satunya.
Pria yang memiliki hobi di bidang fotografi ini mengatakan, “Saya cukup percaya diri untuk membuat kesimpulan sementara bahwa seorang sutradara harus memiliki, pertama dan paling utama, kemampuan komunikasi yang baik. Sutradara berperan sebagai peracik dan ia meracik hasil proses kreatif semua insan artistik,” katanya.
Jika melihat pada proses penciptaan pentas teater, harus diakui bahwa komunikasi menjadi ilmu yang sangat penting agar tercapainya sebuah kesepakatan diantara setiap orang. Tanpa ada komunikasi yang baik dan lancar, bukan tidak mungkin hasil proses kreatif aktor, tim lampu, tim musik, dan tim makeup/kostum, akan gagal diracik oleh sutradara.
Walau tidak ingin dikatakan sebagai orang teater, namun Agathon memiliki definisi yang cukup menarik tentang seperti apa aktor yang baik. Pria yang gemar membaca dan memiliki perpustakaan kecil di rumahnya itu mengatakan jika aktor yang baik adalah aktor yang tahu kapan panggung dan dunia nyata harus digabungkan dan dipisahkan.
Keseharian sebagai orang kantoran dan bukan aktif sebagai pelaku teater, Agathon menyadari seberapa besar pengaruh teater dalam rutinitasnya sehari-hari.
“Karena saya punya pekerjaan utama sebagai sales, tentu banyak topeng yang saya siapkan untuk berakting di depan konsumen agar dagangan saya laku,” terang pria yang gemar tersenyum ini.
Pengalaman menarik dalam menghadapi berbagai macam orang inilah yang ia sadari bahwa sense berteaternya masih bekerja dalam dirinya. Misalnya saja timbul rasa curiga dan gelisah berlebihan terhadap lingkungan sekitarnya. Tidak jarang, kecurigaan dan kegelisahan itu mampu menjadi naskah atau konsep kreatif bagi Agathon. (T)*
Arlingga Urak
Yogyakarta, 26 Maret 2018.
0 komentar