Meniada, Aku — Cerpen

by - September 26, 2018


Jiwaku bergelora. Ia terbakar sekaligus menjadi tenang. Ia tenggelam sekaligus menjadi abu. Sangkaan ini tak pernah sedikit pun aku rencanakan. Layaknya wayang yang tak pernah ingin digerakan oleh dalang. Wayang tak pernah ingin bertarung dengan wayang lain. Yang menginginkannya hanyalah dalang di balik dalang.

Begitu udara masuk, jiwaku terhempas dalam ruang hampa. Tempat bersemayamnya jiwa-jiwa yang senantiasa mengalami ke-jumbuh-an. Dimana kosong adalah isi dan isi adalah kosong. Tempat susah dan senang menyatu. Tempat keras dan lembut menyatu. Segala macam yang berupa pun tak akan berarti.

“Sekarang aku ini sedang merasa aneh,” kata temanku.
“Merasa aneh kenapa?”
“Aku seperti sedang dituntun menuju sebuah tempat yang jauh sekali tapi aku sama sekali tidak merasakan adanya jarak dengan tempat itu.”
“Lah bagaimana bisa? Kalau jauh ya jauh saja, kalau dekat ya dekat saja. Jangan di satukan.”

Kebingungan dia malam itu juga membuatku bingung. Ku teguk segelas kopi untuk berdua dengan sebatang kretek untuk berdua. Amat romatis malam itu. Lampu remang berwarna merah menghiasi kemesraan kami.

“Iya,” dia melanjutkan omongannya. “Aku ini sering bangun tiap tengah malam, rasanya seperti dibangunkan.”
“Terus setelah bangun mu, apa yang kamu lakukan?” aku penasaran.
“Aku duduk,” katanya.
“Lalu?”
“Merenung.”
“Lalu?”
“Aku berpikir.”
“Apa isi pikiranmu?”
“Pecah.”
“Apa yang kamu pecahkan? Tetanggamu ada yang bangun ketika memecahkan barang itu?”
“Bukan. Pikirankulah yang pecah memikirkan itu. Kemampuanku berpikir tidak mampu menampung apa yang hampir tiap malam aku rasakan.”
“Berarti ojo dipikir bosku. Sudah coba pendekatan rasa? Kalau anak teater itu sering bilang olah rasa.”
“Sudah,” dengan mata terpenjam dan menunduk. Ia mengambil segelas kopi yang separuh dingin. Diteguknya sampai habis. Kurang ajar betul bocah ini, bubuk hanya sisa satu sendok malah kopinya habis sendiri.

“Ada jawaban?” sambil memejamkan mata, ku hisap kretek yang masih setengah sampai habis. Kamar seperti hutan kebakaran. Tak ku beri izin masuk untuk oksigen segar. Tapi kalau mereka nyelonong, biarlah, dari pada mati konyol.

“Kenapa kau habiskan rokoknya, itu tinggal sebatang Mahmuuuuud...” dia menyela.
“Kenapa juga kau habiskan kopinya, itu sendok terakhir Juneeeeed...” ku balas saja.

Pintu kamar diketuk.

“Permisi. Mas Mahmud? Ini Erin, mau mengembalikan koper.”

Setelah tahu yang mengetuk adalah Erin, Juned langsung beranjak dan membukakan pintu. Polahnya seperti ketika dubur kemasukan kecoa tapi tanpa kulo nuwun.

“Eh, dek Erin. Makasi ya Dek,” mata Panembahan Junaedi menatap mesra mata Erin, tak ada sedikit celah untuk mencuri tatapannya. Setan.

“Ini Mas, ada oleh-oleh kopi dari Bali, sebagai tanda terima kasih sudah meminjamkan koper.”

“Iya. Makasi dek Erin,” segera aku ambil kopi tersebut untuk diseduh lagi. “Jun. Beli rokok di warung jendela, beli yang 76 aja, biar habisnya lama, irit. Barangkali menyehatkan. Buat dompet.”

“Yo,” Juned langsung berangkat. Perlahan tatapannya menjauh dari dek Erin yang juga pulang.

Sekian lama berlalu. Malam semakin larut, kopi sudah jadi dan rokok sudah terbeli. Kami kembali duduk melanjutkan obrolan. Ia kembali serius memikirkan suatu hal, sepertinya ia sangat memikirkan jawaban dari hasil mengolah rasanya itu.

“Bagaimana? Pertanyaanku tadi sudah ada jawabannya?” aku mencoba membuka obrolan.
“Dalam sekali,” matanya masih terpejam dengan kepala nunduk. Tapi kali ini bibirnya mesam-mesem dhewe.

“Seberapa dalam? Terus apa yang ada di dalam rasamu?”
“Kamu punya nomornya?” astaga ternyata yang dimaksud adalah kedalaman tatapannya dengan dek Erin. Bocah gemblung.

“Tidak ada! Ayo. Ini masih seputar dirimu sendiri. Aku masih penasaran.”

“Aku belum menemukan jawaban, tapi aku pun seolah tak ingin tahu jawaban itu. Ada arah yang ditunjukan padaku untuk melakukan ini itu tanpa kersa-ku sendiri.”

Dia mulai semakin bingung. Perlahan ia menghisap rokok satu atau dua hisapan kemudian melanjutkan pembicaraannya.

“Aku curiga ini ada campur tangan dari-Nya, Sang Suwung. Tapi ini jelas bukan perkara saat ini saja. Tuhan selalu ikut campur dalam urusan kita. Kamu tahukan? Kita tidak akan pernah lepas dari-Nya.”
“Kamu juga tahukan makna dari kalimat, kamu ada dalam diri Tuhan sekaligus Tuhan mengada dalam dirimu.”
“Tapi mengapa baru sekarang aku bisa merasakan itu?”
“Tuhan itu ingin bermesraan dengamu, itu cara Tuhan bercanda dengan hamba-hamba-Nya. Jangan kaget kalau suatu saat ada hal-hal atau peristiwa yang tiba-tiba kamu alami tanpa kamu inginkan sedangkan peristiwa itu membuatku merasa sangat bahagia.”
“Berarti benar ucapan dalang gendheng Presiden Jancukers itu? Kalau Tuhan itu Maha Asik?”
“Ya mungkin benar. Aku tak benar-benar paham dengan maksudnya. Cari tahu sendiri sajalah.”
“Mengapa baru sekarang Tuhan menyapaku?”
“Mungkin Tuhan rindu. Sebab manusia kerap lupa pada-Nya.”
“Iya aku paham soal itu, tapi ceritakan lebih dalam.”
“Aku belajar, berguru pada siapapun apapun dimanapun. Aku tidak ingin menjadi guru, aku juga tidak ingin melulu menjadi murid. Begini saja, akan aku jelaskan. Tapi ini agak panjang lebar. Sanggup”
“Ya teruskan saja.”

Keteguk kopi yang masih lumayan panas tersebut. ku lihat jam, waktu sudah menunjukkan pukul 22.30.

“Begini. Menurut apa yang saya baca dan pelajari dari beberapa buku dan beberapa orang beserta pengalamannya. Pokok intinya itu adalah free will atau kehendak bebas manusia.”
“Oke, lalu?”
“Manusia itu diciptakan dengan diberi kelebihan berupa akal. Kehidupan manusia akan bergantung pada kemampuannya mengelola akal dan hati nuraninya. Ketika seorang pencuri hendak melakukan pencurian, pasti saat itu juga ia diberi pilihan berupa mencuri ataupun tidak. Ada pertimbangan yang dilakukan oleh akal, kalau mencuri nanti ketahuan atau tidak? Kalau ketahuan bagaimana? Dikeroyok. Iya kalau masih hidup. Kalau mati bagaimana? Dan seterusnya.”
“Relevansi dengan apa yang aku rasakan apa?”

Sek to. Sek to. Menengo Cuk! Aku jelaskan dulu. Jangan dipotong. Yang aku sampaikan tadi adalah contoh. Bahwa kita sebagai manusia punya pilihan itu taat atau tidak pada Tuhan. Kalau hewan, tumbuhan, benda-benda, mereka hidupnya sangat pasti. Sebagai contoh, tidak pernah seekor anjing berpikir atau berangan-angan ingin terbang ketika melihat burung terbang. Tidak pernah ada seekor burung berkhayal ingin menjadi lumba-lumba dan sebagainya. Atau ketika kita duduk di sebuah batu dan kentut, tak pernah batu itu berpikir bisa membalah kentut kita. Mereka bisa saja bergerak, itupun atas perintah Tuhan. Jadi intinya adalah ketidakselarasan antara akal dan hati nurani manusia sering membuat kita kalah oleh diri kita sendiri dalam menentukan kehendak bebas tadi. Kekalahan itu kemudian cenderung mengarahkan kita sebagai manusia pada hal-hal yang menjauhkan kita dari Yang Maha Esa. Salah satunya yaitu kita akan menjadi masyarakat hedonis karena dunia adalah segalanya. Tidak ada kesadaran akan Tuhan di dalamnya. Hal itulah yang membuat manusia jauh dari Tuhan. Tanpa kesadaran akan Tuhan, manusia hanya binatang dengan peradaban canggih.”

“Tapi jauh yang aku rasakan begitu dekat.”

“Beruntunglah, Tuhan ingin tetap berjarak denganmu, Dia ingin agar kamu tetap bisa rindu Pada-Nya. Itulah Tuhan. Dia paradoks. Ia ingin dekat denganmu tapi dengan cara menjauhkanmu. Ia ingin kamu baik tapi dengan cara menjadikanmu jahat. Asikkan? Aku kasih tahu saja, kamu itu tidak akan pernah sampai pada-Nya jika menggunakan pikiran, Dia hanya bisa dirasakan. Nikmatilah. Dia itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang kok. Itu sifat utama Tuhan. Bagi yang mau taat pada-Nya, Tuhan sangat welcome, tapi bagi yang tidak ingin taat padanya, Tuhan ora masalah sama itu, sebesar apapun kerusakan yang dibuat manusia, semunafik apapun yang dilakukan manusia, sekejam apapun perbuatan manusia, semua itu tidak akan mempengaruhi ke-Esaan-Nya. Apik to Tuhan? Ngomong ngene iki angel bung, aku ini googling lho nyariin bahan buat ngomong gini.”

“Ya ya ya. Wes cukup untuk malam ini, tapi apa yang membuat kamu bisa ngomong gitu kok kayak e enteng banget?
Lah wong kamu itu aku, aku itu kamu, kita ini satu. Kamu yang merasakan saya yang mikir.”

Aku tenggelam bersama dialog dalam diri. Kopi itu hanya untuk diriku. Rokok itu hanya untuk hisapanku. Mataku masih terpejam menghela nafas dalam-dalam. Aku mulai menumbuhkan kesadaran diri akan suatu Dzat Yang Sejati. Menumbuhkan rasa akan hidup yang abadi. Mengolah diri agar menjadi manusia sejati. Semua atas tuntunan suatu dalam diri yang mempribadi menjadi aku. Meluluhkan aku. Mentiadakanku.


Waluyo Adi Santoso
Jogja, 24 September 2018.

You May Also Like

0 komentar