Toleransi : Stigma dan Hati Nurani
“Sebagai makhluk sosial, kita harus memiliki rasa toleransi terhadap sesama”
“Toleransi adalah salah satu syarat terwujudnya perdamaian sosial“
“Toleransi masyarakat mencerminkan kesejahteraan suatu negara”
Banyak pendapat yang mungkin sering kita dengar tentang toleransi. Toleransi juga merupakan salah satu hal yang tidak akan pernah bosan untuk dibahas. Banyak kajian atau pun cerita toleransi yang dapat kita jadikan sebuah bahan tulisan. Di negara ini, kita dapat dengan mudah menemukan slogan-slogan atau pun ungkapan secara lisan tentang pentingnya toleransi bagi negara kita; Indonesia. Namun, mampukah kita dengan mudah menerapkannya?
Apabila kita ingin membahas toleransi, kita harus mengerti konteks dari bahasan toleransi tersebut. Konteks bahasan toleransi biasanya hanya terdiri dari tiga konteks, yaitu konteks sosial, budaya, dan agama. Ketiga konteks toleransi ini memiliki pengaruh yang kuat bagi kesejahteraan bangsa kita.
Beberapa waktu yang lalu, tepatnya tanggal 12 September 2018, Yogyakarta sempat heboh karena aksi tawuran yang dilakukan oleh masyarakat perantau dari Ambon dan Papua. Berita tawuran ini dengan cepat tersebar melalui media sosial seperti WhatsApp . Video-video yang berisikan gerak jalan oleh warga Papua sebagai aksi protes mereka menjadi berbeda konteksnya ketika sudah tersebar di media sosial. Banyak komentar-komentar yang secara tidak langsung mengatakan bahwa para perantau itu selalu membuat resah Yogyakarta, terutama perantau dari Indonesia bagian Timur.
Setelah berita resmi keluar, ternyata aksi gerak jalan tersebut merupakan aksi protes perantau dari Papua atas kasus penusukan yang terjadi pada malam sebelumnya. Aksi gerak jalan yang diikuti sekitar puluhan warga dari Papua ini menuai kontroversi karena mereka (para perantau dari Papua, red) membawa senjata tajam. Aparat kepolisian dan TNI langsung menjaga dengan ketat area sekitar Seturan hingga Babarsari.
Satu hal yang menggelitik saya adalah kenapa stigma masyarakat terhadap masyarakat Papua itu buruk? Kenapa setiap ada pendatang dari wilayah Indonesia bagian timur, stigma masyarakat langsung jelek terhadap pendatang tersebut? Bukankah kita ini negara demokrasi? Haruskah stigma dan hati nurani kita menjadi terkunci terhadap pihak-pihak minoritas?
Solusi yang akan saya berikan ini adalah solusi jangka panjang. Kunci dari pengajaran toleransi harus dimulai sejak dini. Orang tua haruslah menjadi pilar utama pembentuk pemahaman toleransi bagi anak mereka. Setelah itu, sang anak akan belajar toleransi dari sekolah dan masyarakat.
Mengapa harus dilakukan sejak dini? Apabila kita melakukan sekarang, mungkin sudah terlambat. Penanaman stigma yang positif di masyarakat tidak bisa dilakukan secara instan dan membutuhkan waktu. Cara yang terbaik adalah menyiapkan generasi selanjutnya sehingga Indonesia bisa sejahtera di masa mendatang.
Hilarius Aryokusumo.
1 komentar
JOIN NOW !!!
ReplyDeleteDan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.name
dewa-lotto.org