Starting Point — Catatan Sebelum Pentas

by - October 01, 2018


Hari itu, Rabu 19 September dua tahun setelah tahun kabisat ke 504, delapan orang berkumpul pada sepetak panggung benderang di jantung sebuah kompleks kampus berumur hampir 13 lustrum di Jogja. Mereka yang mengaku hidup ini (yang kemudian diketahui adalah mahasiswa) mengawali kefaedahan hidup mereka pada tahap awal sebuah pentas. Keluarga Mochtar tajukya, Unit Kegiatan Mahasiswa wadahnya, dengan Sanata Dharma kampusnya. Mereka bersama menyatukan asa untuk pentas pada awal dari akhir tahun yang mereka jalani, 1 Desember tepatnya.

Ada satu bagian dari mereka tak tampak hari itu. Lepas dari itu, mereka tetap melangkahkan kaki mereka, menginjak setapak awal dari jalur kecil bernama proses latihan keaktoran. Dari situ, dan sejak saat itu, dunia mereka terjamin tak akan berada sama seperti pijakan sebelumnya.

Matahari telah melela untuk pergi saat itu. Saat dimana satu demi satu bagian mereka melengkap. Ada huru-hara pada titik dimana mereka berkumpul. Kemudian kita tahu terjadi sebuah peristiwa teater bernama kelas workshop keaktoran bertema perspektif ruang, terjadi di sana.

Bagian lain pada wadah mereka rupanya melakukan perjalanan pada jalur yang tak serupa dengan mereka. Sebagian menggubah bentuk wadah, sebagian mempercantik, dan menata ulang wadah tersebut. Yang lain, melinglung bingung mau meninbrung.

Tak lama jarum panjang berlari. Mereka, para mahasiswa yang kemudian kita ketahui adalah -mengutip dari seorang sutradara pentas semi ketoprak- ujung tombak sebuah pementasan teater, memisahkan badan, membagi-kecilkan diri mereka, berpisah dari wadah.

Di panggung itu, para ujung tombak berdiri. Mengutarakan doa pada empunya semesta jadi pilihan mereka sebelum memulai pergelutan raga dan batin mereka. Lepaslah iringan surat keilahian itu ke semesta, mereka lalu memulai perjalanan mereka. Bergerak abstrak lemaskan badan, lalu memanaskan badan mereka lakukan.

Berbagai macam suara, hentakan, rintihan, keluhan, hingga makian terlempar keudara dari masing bagian mereka. Bentuk-bentuk tak umum mereka buat dengan bahan tubuh mereka. Berdiri, duduk, terlentang tengkurap, hingga menggulung, mereka formasikan. Badan terebah dan tangan mengatup pada dagu jadi tanda penghangatan tubuh mereka usai.

Masing-masing lalu mempersiapkan beberapa lembar kertas sarat drama yang menyatu menyerupai buku, yang lalu kita ketahui adalah naskah, yang berisi nyawa mereka dalam bentuk yang dapat disentuh, yang kemudian akan mereka lahap dalam proses permersatuan nyawa insan dalam naskah dengan daging mereka. Satu bagian demi bagian lalu mengangkat nyawa itu ke udara dengan suara mereka. Masing-masing dengan cara mengangkat yang berbeda.

Lepas tiga kali kuartal jam berselang, semua nyawa habis terlempar. Tanda sidang paripurna mereka dimulai. Sidang yang dilakukan danging-daging itu dalam upaya menyatukannya dengan nyawa tadi.
Angka kembar hampir tercipta pada sebuah jam analog hari itu saat mereka memutuskan untuk mencukupi perjalanan hari itu. Lalu bagian-bagian itu menceraikan diri dan membagi-kecilkan lagi diri mereka, untuk sejenak mengambil jalan yang lain dan akan kembali melanjutkan perjalanan awal mereka di jalur itu.

Chresna Evan
Jogjakarta, 25 September 2018 - 23:23

You May Also Like

0 komentar