Starting Point — Catatan Sebelum Pentas
Hari itu, Rabu 19 September dua tahun setelah tahun kabisat ke 504, delapan orang berkumpul pada sepetak panggung benderang di jantung sebuah kompleks kampus berumur hampir 13 lustrum di Jogja. Mereka yang mengaku hidup ini (yang kemudian diketahui adalah mahasiswa) mengawali kefaedahan hidup mereka pada tahap awal sebuah pentas. Keluarga Mochtar tajukya, Unit Kegiatan Mahasiswa wadahnya, dengan Sanata Dharma kampusnya. Mereka bersama menyatukan asa untuk pentas pada awal dari akhir tahun yang mereka jalani, 1 Desember tepatnya.
Ada satu bagian
dari mereka tak tampak hari itu. Lepas dari itu, mereka tetap melangkahkan kaki
mereka, menginjak setapak awal dari jalur kecil bernama proses latihan
keaktoran. Dari situ, dan sejak saat itu, dunia mereka terjamin tak akan berada
sama seperti pijakan sebelumnya.
Matahari
telah melela untuk pergi saat itu. Saat dimana satu demi satu bagian mereka melengkap.
Ada huru-hara pada titik dimana mereka berkumpul. Kemudian kita tahu terjadi
sebuah peristiwa teater bernama kelas workshop keaktoran bertema perspektif
ruang, terjadi di sana.
Bagian lain pada wadah mereka rupanya melakukan
perjalanan pada jalur yang tak serupa dengan mereka. Sebagian menggubah bentuk
wadah, sebagian mempercantik, dan menata ulang wadah tersebut. Yang lain,
melinglung bingung mau meninbrung.
Tak lama jarum panjang berlari. Mereka, para
mahasiswa yang kemudian kita ketahui adalah -mengutip dari seorang sutradara
pentas semi ketoprak- ujung tombak sebuah pementasan teater, memisahkan badan,
membagi-kecilkan diri mereka, berpisah dari wadah.
Di panggung
itu, para ujung tombak berdiri. Mengutarakan doa pada empunya semesta jadi
pilihan mereka sebelum memulai pergelutan raga dan batin mereka. Lepaslah iringan
surat keilahian itu ke semesta, mereka lalu memulai perjalanan mereka. Bergerak
abstrak lemaskan badan, lalu memanaskan badan mereka lakukan.
Berbagai macam suara, hentakan, rintihan, keluhan, hingga makian terlempar keudara dari masing bagian mereka. Bentuk-bentuk tak umum mereka buat dengan bahan tubuh mereka. Berdiri, duduk, terlentang tengkurap, hingga menggulung, mereka formasikan. Badan terebah dan tangan mengatup pada dagu jadi tanda penghangatan tubuh mereka usai.
Berbagai macam suara, hentakan, rintihan, keluhan, hingga makian terlempar keudara dari masing bagian mereka. Bentuk-bentuk tak umum mereka buat dengan bahan tubuh mereka. Berdiri, duduk, terlentang tengkurap, hingga menggulung, mereka formasikan. Badan terebah dan tangan mengatup pada dagu jadi tanda penghangatan tubuh mereka usai.
Masing-masing
lalu mempersiapkan beberapa lembar kertas sarat drama yang menyatu menyerupai
buku, yang lalu kita ketahui adalah naskah, yang berisi nyawa mereka dalam
bentuk yang dapat disentuh, yang kemudian akan mereka lahap dalam proses
permersatuan nyawa insan dalam naskah dengan daging mereka. Satu bagian demi
bagian lalu mengangkat nyawa itu ke udara dengan suara mereka. Masing-masing
dengan cara mengangkat yang berbeda.
Lepas tiga kali kuartal jam berselang, semua nyawa habis terlempar. Tanda sidang paripurna mereka dimulai. Sidang yang dilakukan danging-daging itu dalam upaya menyatukannya dengan nyawa tadi.
Lepas tiga kali kuartal jam berselang, semua nyawa habis terlempar. Tanda sidang paripurna mereka dimulai. Sidang yang dilakukan danging-daging itu dalam upaya menyatukannya dengan nyawa tadi.
Angka
kembar hampir tercipta pada sebuah jam analog hari itu saat mereka memutuskan
untuk mencukupi perjalanan hari itu. Lalu bagian-bagian itu menceraikan diri
dan membagi-kecilkan lagi diri mereka, untuk sejenak mengambil jalan yang lain
dan akan kembali melanjutkan perjalanan awal mereka di jalur itu.
Chresna Evan
Jogjakarta,
25 September 2018 - 23:23
0 komentar