Pengembara Rimba

by - March 24, 2020


“Bapak yakin bahwa kalian atau salah satu dari antara kalian akan membawa lentera dan
membagikan cahayanya ke ke anak-anak berikutnya.”
Pak Trostov membagikan cahayanya ke dalam lentera kami. Sekitar kami pun terang dan
kunang-kunang berterbangan di sekitar kami. Ternyata cahaya Pak Trostov menghadirkan
keindahan di tengah-tengah rimba yang gelap. Aku termenung menatap bintang-bintang dan
tenggelam dalam renungan.
“Apa sebenarnya maksud dari kata-kata Pak Trostov? Mengapa ia begitu yakin bahwa kami akan
membagikan cahaya kepada orang lain? Dan siapa yang akan kami bagikan?”

*
Empat belas tahun berlalu, cahaya lentera masih menyala, walaupun tak seterang dahulu.
“Dok… dok…” Ketuk pintu.
“Siapa?”
Selama aku tinggal di rumah ini, tidak pernah seorang pun mengetuk pintu rumahku. Ya, wajar
saja, siapa juga yang ingin berkunjung ke rumah yang berada di bibir rimba yang jauh dari hiruk-
pikuk keramaian. Ku buka pintu. Tidak ada siapa-siapa? Heran, Aku masuk lagi ke dalam
rumah, menutup pintu dan duduk kembali di kursi dekat perapian.
Tak lama terdengar kembali ketukan pintu. Dengan tergopoh-gopoh, aku beranjak dan membuka
pintu. Tetapi tetap saja tidak ada orang yang tampak di balik pintu itu. Aku mulai curiga. Jangan-
jangan ada orang yang sengaja mengerjaiku. Siapa juga yang datang kemari di malam-malam
buta seperti ini? Perlahan-lahan, mengendap-endap, sambil membawa lentera di tangan kanan,
aku menyusuri sekitar rumah. Entah dari mana, kunang-kunang datang berterbangan di sekitar
ku. Kemudian mereka membentuk sebuah barisan. Seolah-olah mereka ingin mengatakan,
“Ikuti aku!”
Aku ikutilah mereka dan sampailah aku di satu titik. Kunang-kunang itu terbang meninggalkan
ku. Tiba-tiba aku mendengar suara. Aku mendengar seseorang bernyanyi lirih,

“Sesat rimba, gelap gulita
Sendiri ku di dalamnya
Sesat rimba, pergi entah kemana
Bernyanyilah ku di tengah tengahnya”

Aku dekati suara itu dan aku melihat seorang anak jatuh tersungkur di tengah-tengah rimba yang
gelap. Aku hampirilah dia.
“Mengapa kamu di sini?”
“Tolong om… Aku dan teman-teman mau main di dalam rimba, kami mau melihat kunang-
kunang. Tapi tiba-tiba lentera kami mati dan kami pun tersesat. Teman-teman ku pergi semua minta bantuan. Tapi mereka belum kembali juga. Makanya, aku bernyanyi saja disini daripada
aku mencari mereka dan tersesat lebih jauh. Lebih baik aku bernyanyi dan berharap teman-teman
ku dapat mendengar suara ku dan pulang lagi bersama-sama lagi.”
“Apakah tidak ada orang pengembara rimba yang menemani kalian?
“Tidak… hanya kami berlima. Aku kira rimba itu menyenangkan. Ternyata rimba itu
menakutkan dan mengerikan.”
“Iya. Rimba mengerikan bila kamu sendirian dan tidak tahu apa-apa! Berikan pelitamu! Biar ku
berikan sebagian dari api ku. Aku akan bantu kamu cari teman-teman mu dan membawa kalian
keluar selamat.” Kami berjalan berdampingan, ku pegang erat tangannya supaya tidak tersesat
kembali.
Beruntungnya aku, dulu, empat belas tahun yang lalu. Aku pernah diajari tentang seluk-beluk
rimba, tentang pola-pola rimba, sistem-sistem rimba, aturan-aturan rimba dan bagaimana cara
menghadapinya. Kata Pak Trostov, rimba adalah tempat yang ajaib dan penuh misteri. Kamu
harus mampu beradaptasi.
Bekal ku tidaklah banyak. Tetapi cukup untuk membuatku tetap bernyawa. Sambil mencari, aku
juga bercerita tentang yang ku dapat dari Pak Trostov dan pengalaman ku di dalam rimba.

*
Tak perlu waktu yang lama tuk menemukan teman-temannya. Aku tahu segalanya, kemana arah
mereka berjalan berdasarkan ranting-ranting yang patah atau mungkin karena intuisi ku tentang
rimba sudah kuat atau mungkin juga cahaya rembulan dan bintang lah yang menuntun dalam
pencarian ku. Baru aku sadari, ternyata apa yang diajarkan oleh Pak Trostov ternyata sangatlah
berguna.
Sekitar, mungkin semalaman. Akhirnya lima-limanya dapat ditemukan. Lelah, memang, berjalan
semalaman di tengah-tengah rimba memang melelahkan, tetapi lelah itu sungguh menyenangkan.
Apalagi ketika melihat anak-anak itu tersenyum, berpelukan dan meloncat-loncat kegirangan.
Akhirnya mereka menemukan apa yang tadinya hilang.
Aku putuskan untuk beristirahat sejenak dan duduk melingkar di antara mereka. Kemudian kami
bercerita tentang kehidupan kami masing-masing. Aku pun mengajari mereka segala hal
mengenai rimba, supaya mereka tidak tersesat lagi bila masuk ke dalamnya. Sambil bercerita aku
pun membagikan cahaya lentera ku kepada anak-anak lainnya. Rimba pun kembali menjadi
terang. Kunang-kunang berterbangan di sekitar kami. O… teringat masa lalu. Dulu, saat
berkumpul dengan teman-teman dan Pak Trostov.
“Cletek!”
Bunyi ranting yang patah karena terinjak. Samar-samar aku melihat cahaya dari segala penjuru
arah mata angin. O… aku kenal cahayanya. Itu cahaya yang sama dengan cahaya yang
dibagiakan oleh Pak Trostov. Aku kenal sekali cahayanya. Apakah itu mereka? Mereka kembali ke dalam rimba? Dan.. dan apakah mereka kinijuga menjadi pengembara rimba?! Perlahan-
lahan sosoknya menjadi nyata. Kini giliaran kulah yang bersorak-sorai, memeluk mereka dan
menari-nari bersama mereka. Orang yang dulu bersama kini kembali bersama.
Aku melihat mereka dan mereka pun turut membawa anak-anak dan anak-anak itu juga
membawa lentera yang bercahaya.
Seketika, Rimba penuh cahaya-cahaya lentera, indah. Tak kalah indah dengan cahaya bintang-
bintang di langit malam.
Kini aku mengerti makna dari kata-kata yang dikatakan Pak Trostov empat belas tahun lalu.
Sebagai orang yang punya cahaya, alangkah indahnya bila dibagikan kepada orang lain. Supaya
malam yang gelap gulita dapat terang seperti bintang-bintang di malam hari dan supaya orang-
orang tidak tersesat di dalamnya lagi.


Arya Surya Pratama

You May Also Like

0 komentar