Cas Cis Cus (2006)

Sepuluh tahun sudah aku menginjakkan kaki di ibu kota yang kejam ini.
Yang selalu berpacu dengan waktu dan mencoba mengaburkan realita dalam gemerlap lampu-lampunya.
Sepuluh tahun sudah berlalu, bukan waktu yang singkat untuk menggapai mimpi, untuk mengejar hal-hal yang dulu rasanya tak kan kumiliki.
Namun di dalam sana, ada sebuah ruang kosong yang entah kenapa tidak juga terisi, seolah hampa dan merindukan sesuatu yang aku sendiri tak mengerti.

Secuil hatiku masih tertinggal di sana, ternyata!

Di sebuah sudut kota Yogyakarta, ada sebuah rumah yang mengikatnya.
Rumah yang dulu selalu kudatangi saat semua terasa sepi.
Rumah yang selalu terbuka untuk kami yang merindukan cinta.
Rumah yang selalu ada untuk semua, tidak melihat rupa dan warna.

Rumah itu bernama Teater Seriboe Djendela!

Memori ku berlarian tanpa kendali, melompat ke 15 tahun lalu saat pertama kali memasuki pintunya.

Tak perlu waktu lama buatku jatuh cinta.

Aku jatuh cinta pada setiap inci aroma dan penghuninya.
Aku jatuh cinta pada anggunnya liukan gerak tubuh dan panasnya sorot lampu.
Pada nafas yang memburu waktu kita berlari memanaskan tubuh sebelum proses lebih jauh.
Pada setiap emosi yang terkendali saat mencoba berbagai peran dan karakter.
Pada pentas-pentas berdurasi menit dengan persiapan berdurasi hari.
Pada setiap malam yang dihabiskan bersama sahabat-sahabat ditemani kopi dan kadang minuman jahat.

Aku memang bukan siapa-siapa di rumah itu.

Bukan kepala rumah tangga, ataupun penentu laju irama.
Tapi, itu tidak penting buatku.
Karena aku menemukan tawa dan merasa bahagia.

Teater Seriboe Djendela sedikit banyak membentukku hingga menjadi aku yang sekarang.
Dia dan segala isinya berkontribusi atas apa yang kucapai saat ini.

Rindu itu masih tetap sama, merah dan panas.

Setiap aku kembali ke kota itu, aku mencoba mengobatinya dengan datang ke sana walaupun aku tahu rumah itu sedang tertutup, ditinggal semua penghuni kembali ke daerah masing-masing.
Dan mungkin walaupun aku bertemu salah satu dari para penghuni baru, tak kan ada lagi yang ku kenal, ataupun mengenal muka ku.
Namun melihat daun pintunya yang tertutup, dan memandang deretan karya di teras rumah yang sebagian masih kuingat siapa penciptanya sudah cukup buatku.

Terima kasih untuk itu.

Selamat ulang tahun yang ke 20, Teater Seriboe Djendela!

Ruang kosong di dalam sana akan selalu kubiarkan apa adanya, karena aku tahu tidak ada yang bisa mengisinya seperti Teater Seriboe Djendela dulu.

Jakarta, medio Maret 2019
Mico - sang mantan yang belum bisa move on.

Note :
Aku membuat sebuah fb page berisi kumpulan rangkaian kata bernama "Kata yang Mengalir" karena mencoba mencari cara mengobati rinduku pada Teater Seriboe Djendela dengan segala prosesnya.
Sedikit membantu, namun tetap tidak bisa menggantikan!

Aku mempersilahkan semua anggota keluarga Teater Seriboe Djendela apabila ingin mengambil tulisan itu dan membacakannya dalam sebuah pentasan atau menyalinnya ke tempat lain dalam ruang lingkup TSD dengan menyertakan namaku.

Bukan agar aku dikenal, tetapi agar kelak bertahun-tahun mendatang, saat aku yang sudah tua dan pikun menonton kalian dipanggung yang megah, aku bisa tersenyum dan menggumam "aku pernah menjadi bagian dari keluarga besar ini".